DESKRIPSI OBYEK PENELITIAN

DESKRIPSI OBYEK PENELITIAN


A.    Pendahuluan
Dalam bab ini akan dijelaskan gambaran umum kondisi pekerja wanita dan Peraturan Menteri Tenaga Kerja RI Nomor Per-04/Men/1989 Tentang Tata Cara Mempekerjakan Pekerja Wanita Pada Malam Hari.
B.    Gambaran Umum Kondisi pada Pekerja Wanita di Indonesia
1.    Profil Bidang Ekonomi dan Ketenagakerjaan
Kesempatan kerja bagi warga negara Indonesia merupakan hak yang dijamin oleh negara, seperti yang tercantum dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 27 Ayat 2 yang berbunyi bahwa “Tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak”. Untuk itu, pemerintah memiliki tanggung jawab yang besar dalam penyediaan lapangan pekerjaan bagi warga negaranya.
Indikator ekonomi dan ketenagakerjaan merupakan indikator penting dalam perencanaan dan evaluasi pembangunan, baik di bidang sosial maupun di bidang ekonomi. Indikator ekonomi dan ketenagakerjaan dapat memberikan gambaran tentang daya serap ekonomi terhadap pertumbuhan penduduk dan produktifitas tenaga kerja. Apabila perekonomian tidak dapat menyerap pertumbuhan tenaga kerja maka peningkatan pengangguran tidak apat dihindari sehingga pada akhirnya, banyaknya pengangguran tersebut akan mengakibatkan banyak terjadinya masalah sosial. Selain itu, informasi dan kondisi ketenagakerjaan suatu daerah menjadi semakin penting mengingat salah satu tujuan pembangunan adalah menciptakan lapangan pekerjaan dalam jumlah dan kualitas yang memadai dan pada akhirnya bertujuan untuk meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan masyarakat.
2.    Peranan Wanita dalam Bidang Ketenagakerjaan
Ditunjukkan oleh tingkat partisipasi angkatan kerja wanita yang terus meningkat, dari 32,7 persen pada tahun 1980 menjadi 38,8 persen pada tahun 1990. Bahkan, dalam kurun waktu 1980-1990, laju pertumbuhan angkatan kerja wanita, adalah 4,4 persen atau lebih cepat dari laju pertumbuhan angkatan kerja laki-laki, yaitu 3,1 persen.
3.    Persoalan Beban Ganda (Double Burden) dan Partisipasi Kerja 
Beban ganda (double burden) artinya beban pekerjaan yang diterima salah satu jenis kelamin lebih banyak dibandingkan jenis kelamin lainnya. Peran reproduksi perempuan seringkali dianggap peran yang statis dan permanen. Walaupun sudah ada peningkatan jumlah perempuan yang bekerja diwilayah publik, namun tidak diiringi dengan berkurangnya beban mereka di wilayah domestik. Upaya maksimal yang dilakukan mereka adalah mensubstitusikan pekerjaan tersebut kepada perempuan lain, seperti pembantu rumah tangga atau anggota keluarga perempuan lainnya. Namun demikian, tanggung jawabnya masih tetap berada di pundak perempuan. Akibatnya mereka mengalami beban yang berlipat ganda.
Harbirson menyatakan, berkaitan dengan masuknya penduduk perempuan dalam pasar kerja, setidaknya dapat dijelaskan: Pertama, teori strategi kelangsungan rumah tangga (household survival strategy). Sedangkan menurut Rodgers & Standing bahwa masuknya wanita dalam pasar kerja merupakan strategi untuk menambah pendapatan, sebagai akibat status ekonomi rumah tangganya rendah. Kedua, teori transisi industrialisasi. Tenaga kerja wanita muncul akibat adanya akumulasi modal pada saat awal industrialisasi. Pada kondisi ini, suatu industri cenderung memilih tenaga kerja wanita untuk menekan biaya produksi, misalnya upah buruh. Pengupahan yang rendah ini berawal dari asumsi bahwa tenaga kerja wanita dapat menerima upah rendah dibandingkan tenaga kerja laki-laki dewasa.
4.    Persoalan Kekerasan Terhadap Perempuan
Kekerasan (violence) artinya tindak kekerasan, baik fisik maupun non fisik yang dilakukan oleh salah satu jenis kelamin atau sebuah institusi keluarga, masyarakat atau negara terhadap jenis kelamin lainnya. Peran gender telah membedakan karakter perempuan dan laki-laki. Perempuan dianggap feminism dan laki-laki maskulin. Karakter ini kemudian mewujud dalam ciri-ciri psikologis, seperti laki-laki dianggap gagah, kuat, berani dan sebagainya. Sebaliknya perempuan dianggap lembut, lemah, penurut dan sebagainya. Sebenarnya tidak ada yang salah dengan pembedaan itu. Namun ternyata pembedaan karakter tersebut melahirkan tindakan kekerasan.
Dengan anggapan bahwa perempuan itu lemah, itu diartikan sebagai alasan untuk diperlakukan semena-mena, berupa tindakan kekerasan. Contoh :
a.    Kekerasan fisik maupun non fisik yang dilakukan oleh suami terhadap isterinya di dalam rumah tangga.
b.    Pemukulan, penyiksaan dan perkosaan yang mengakibatkan perasaan tersiksa dan tertekan.
c.    Pelecehan seksual.
d.    Eksploitasi seks terhadap perempuan dan pornografi.
Penindasan terhadap kaum perempuan terkait bidang ekonomi yang saat ini marak adalah fenomena pelecehan seksual di tempat kerja. Eksploitasi perempuan dalam segala bentuk di tempat kerja merupakan salah satu wujud dari pelecehan seksual dalam arti luas yang saat ini menjadi perhatian masyarakat sosial di dunia. Pelecehan seksual di tempat kerja dapat didefinisikan sebagai kejadian tak dikehendaki yang mengarah pada seksualitas, berpengaruh terhadap martabat di tempat kerja, termasuk di dalamnya perlakuan fisik tak dikehendaki, baik verbal maupun nonverbal (CEC, 1993). Walaupun pelecehan seksual dapat terjadi pada jenis kelamin laki-laki maupun perempuan, namun ketimpangan gender yang masih subur di masyarakat menempatkan perempuan pada posisi yang rentan sebagai subjek dari tindak pelecehan seksual. Berdasarkan Badan Survay Nasional di Amerika pada tahun 1992 diproyeksikan bahwa sekitar 44 persen sampai dengan 85 persen dari perempuan Amerika akan mengalami pelecehan seksual di sepanjang karier pekerjaan mereka. Lebih dari itu, berdasarkan hasil survey secara internasional terhadap korban tindak kekerasan pada lebih dari 30 negara di dunia, ditemukan bahwa kekerasan seksual yang terjadi di tempat kerja dapat berbentuk perkosaan, percobaan perkosaan, dan perilaku menyimpang lain yang mengarah pada seks. Dalam ILO, ditemukan bahwa pelecehan seksual di tempat kerja yang berat seperti perkosaan tercatat 8 persen dan percobaan perkosaan sekitar 10 persen. Telah sama-sama disadari bahwa semua bentuk kekerasan membawa imbas yang serius terhadap kesehatan perempuan dan kesehatan reproduksi mereka. Watts mengatakan bahwa secara global di dunia diketahui setidaknya satu dari lima perempuan yang disurvey melaporkan bahwa mereka pernah mengalami tindak kekerasan seksual seperti perkosaan, pelecehan seksual disertai dengan kekerasan fisik dan tindak pemaksaan yang berkaitan dengan seksualitas. Sedangkan menurut Garcia-Moreno diperkirakan bahwa di Amerika Serikat terdapat sekitar 32,000 kehamilan pertahun, yang terjadi dari hasil dari perkosaan, kebanyakan dari mereka masih dalam usia remaja putri dimana 50 persen diantaranya tidak melanjutkan kehamilannya alias aborsi.
Tindak kekerasan dapat terjadi di ruang publik dan domestik seperti: kekerasan domestik oleh suami (marital rape), kekerasan terhadap anak, pemaksaan prostitusi, kekerasan terhadap pembantu rumah tangga, girls and women-trafficking dan pelecehan seksual di tempat bekerja. Dalam masyarakat tertentu, misalnya di India, terdapat bentuk-bentuk kekerasan yang diperbolehkan oleh masyarakat karena berkaitan dengan tradisi dan norma sosial, seperti pembunuhan yang terkait dengan mas kawin (dowryrelated death), pembunuhan oleh keluarga sendiri dengan sebab untuk menjaga nama baik atau martabat keluarga (killing honour) dan mutilasi alat kelamin perempuan (female genital mutilation).
Selanjutnya, Committee of the Elimination of Discrimination Against Women (CEDAW) dalam rekomendasi umum pasal 12 menyebutkan bahwa kekerasan seksual di tempat bekerja mencakup kontak fisik secara seksual tak dikehendaki, segala sesuatu yang mengarah pada aspek seksual, keinginan seksual dan pornografi baik dengan ucapan maupun tindakan. Martin & Carson mengungkapkan bahwa pelecehan seksual yang dialami oleh perempuan di tempat bekerja biasanya terkait dengan lemahnya posisi tawar perempuan, misalnya pada hubungan kerja dengan rekan sejawat, majikan, promosi jabatan dan saat rekrutmen tenaga kerja. Organisasi buruh internasional (ILO) pada tahun 2001 memberikan beberapa kunci pokok tentang elemen-elemen yang terkandung dalam definisi pelecehan seksual di tempat bekerja sebagai berikut:
a.    Tindakan yang berbasis seksual yang berpengaruh pada kehormatan atau martabat perempuan dengan tidak dikehendaki, tidak diharapkan atau tanpa disadari.
b.    Tindakan tersebut secara eksplisit maupun tidak berkaitan dengan kinerja atau prospek kerja perempuan.
c.    Tindakan tersebut bersifat intimidasi, merendahkan martabat dan mempunyai imbas pada lingkungan atau iklim bekerja yang tidak kondusif bagi perempuan.
Komnas Perempuan dalam siaran pers Hari Ibu tahun 2011 menyebutkan, pada tahun 2010 terjadi 105.103 kasus kekerasan terhadap wanita yang tercatat, 101.128 (96 %) nya adalah kasus KDRT. Komnas Perempuan mendokumentasikan, pada periode 1998-2010 sebanyak 93.960 kasus (25%) adalah kasus kekerasan seksual berupa perkosaan, pelecehan seksual, perdagangan wanita untuk tujuan seksual, eksploitasi seksual, penyiksaan seksual. Bila dirata-ratakan maka setiap hari ada 28 wanita menjadi korban kekerasan seksual di Indonesia.
Wanita Indonesia juga rentan menjadi korban trafficking atau perdagangan manusia. Indonesia berada dalam kategori “Tier 2” (menengah) dalam laporan tahunan mengenai trafficking yang disusun Deplu Amerika Serikat. Mengutip data dari Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), Migrant Care, laporan tersebut menyebutkan bahwa 43 persen atau sekitar tiga juta warga Indonesia yang bekerja di mancanegara merupakan korban perdagangan manusia -yang digolongkan PBB sebagai perbudakan moderen.
Banyaknya kasus kejahatan terhadap wanita itu tidak lain akibat sistem Kapitalisme, liberalisme dan gaya hidup bebas yang berlaku di negeri ini. Kapitalisme gagal mendistribusikan kekayaan secara merata dan adil, dan hanya terkonsentrasi pada sebagian kecil kapitalis. Penghasilan seorang suami yang menjadi kepala keluarga tidak lagi cukup untuk memenuhi kebutuhan. Akibatnya wanita yang seharusnya lebih fokus dalam kehidupan mengurus keluarga dan mendidik anak-anaknya, dipaksa untuk keluar rumah bekerja dan bergulat mencari nafkah. Tak sedikit dari mereka mengalami eksploitasi dan harus bekerja hingga larut malam.
Selain itu dengan dorongan ide liberalisme dan kesetaraan yang salah kaprah, sebagian wanita terpedaya hingga lebih memilih mengejar karir dan bekerja meski banyak mengeksploitasi feminitas dan sensualitas mereka. Tak jarang pula mereka harus pulang malam hari. Dengan kondisi keamanan yang minim, maka kaum wanita menjadi target empuk para pelaku kriminal. Sejumlah kasus pemerkosaan di angkutan umum yang marak belakangan ini terjadi saat kaum wanita beraktifitas di malam hari.
Himpitan ekonomi juga menjadi penyebab maraknya kasus trafficking di tanah air. Banyak wanita dari keluarga miskin yang tergiur dengan tawaran kerja hingga akhirnya terperangkap sindikat trafficking.
Tindak kejahatan terhadap kaum wanita, khususnya kekerasan seksual, juga sering dipicu oleh maraknya pornografi di negeri ini. Konten pronografi dengan mudah ditemui di dunia maya, lapak pinggir jalan, media cetak, beredar lewat HP, dsb. Ditambah lagi maraknya pergaulan bebas makin mendorong dan memperbesar peluang terjadinya berbagai kejahatan terhadap wanita itu.
Disamping itu, tidak bisa disangkal bahwa sebagian wanita juga membiasakan diri mengumbar aurat dan sensualitasnya di ruang publik. Mereka tidak malu lagi mempertontonkan lekukan tubuhnya dalam pakaian ketat atau terbuka. Iklan dan tayangan film di televisi turut mendorong kaum Hawa untuk tidak risih lagi mempertontonkan aurat mereka di muka umum. Padahal sebuah studi oleh Georgia Gwinnett College, AS, memperlihatkan bahwa pada otak lelaki terjadi efek seperti saat seseorang meminum miras atau obat-obatan bila melihat lekuk tubuh wanita yang ramping dan seksi.
Peluang terjadinya kejahatan terhadap wanita makin besar oleh minimnya jaminan rasa aman bagi masyarakat. Kejahatan terhadap wanita mudah terjadi tempat umum, di angkutan umum, terminal, dsb. Keberadaan aparat keamanan belum mampu memberikan jaminan rasa aman, terlebih bagi kaum wanita.
Rasa keadilan bagi kaum wanita juga semakin sulit diperoleh. Hukuman yang dijatuhkan pada pelaku kejahatan tidak memberi efek jera. Hukumannya terlalu ringan dan tidak berempati pada korban. Vonis hukuman terhadap pelaku pemerkosaan, misalnya, terbilang rendah. Dalam Pasal 285 KUHP, hukuman bagi pelaku pemerkosaan paling lama dua belas tahun. Hukuman ini dianggap masih terlalu ringan. Apalagi di pengadilan para pemerkosa sering mendapat vonis yang ringan. Seperti dilangsir dalam detik news bahwa pelaku tindak pemerkosaan di Bekasi yang terjadi pada tahun 2010, misalnya, hanya divonis 4 tahun penjara.
5.    Kondisi Jam Kerja Pada Pekerja Wanita
Berkaitan dengan masalah gaji Haruswati dalam “Pusat Penelitian dan Pengembangan Kesejahteraan” meyatakan bahwa jam kerja khususnya jam kerja malam hari masih merupakan hal yang sering dikeluhkan. Ketentuan yang ada (UU nomor 25 tahun 1997, pasal 100(2)) menyebutkan bahwa jam kerja yang diperbolehkan untuk siang hari adalah:
a.    Tujuh jam satu hari dan 40 jam satu minggu untuk enam hari kerja dalam satu minggu, atau
b.    Delapan jam sehari dan 40 jam semiggu untuk lima hari kerja dalam satu minggu
Khusus untuk malam hari, maka jam kerja yang diperkenankan adalah:
a.    Enam jam satu hari dan 35 jam satu minggu untuk enam hari kerja dalam satu minggu
b.    Tujuh jam sehari dan 35 jam seminggu untuk lima hari kerja dalam satu minggu
Haruswati  dalam “Pusat Penelitian dan Pengembangan Kesejahteraan” menunjukkan bahwa terdapat variasi jam kerja malam hari. Jam kerja yang terbanyak dilakukan adalah antara jam 15.00-23.00 dengan lama kerja delapan jam. Bahkan, terdapat pekerja wanita yang bekerja dimalam hari sampai dengan 12 jam (11.1%), bahkan 14 jam (10.3%). Bila dilihat dari setatus ketenagaan maka variasi jumlah dan jam kerja malam hari ini berlaku bagi pekerja dengan seluruh variasi setatus ketenagakerjaan di perusahaan mereka bekerja. Selain itu, umumnya (95,6%) merka adalah pekerja yang bekerja di unit produksi. Bila dikaitkan dengan limit waktu waktu yang diperkenankan oleh UU nomor 25/1997 pasal 100 (2) nampaknya perlu ada perhatian khusus yang berkaitan dengan jumlah jam kerja, terutama untuk malam hari. Sehubungan dengan hal ini, perusahaan perlu adanya setandar jam kerja bagi tenaga kerja wanita, khususnya. Jumlah jam kerja yang di usulkan adalah 8 jam sehari.
Selain dari limit waktu yang diperkenankan oleh Undang-Undang tersebut, ketentuan yang sama melarang mempekerjakan wanita untuk melakukan pekerjaan pada waktu tertentu malam hari (UU nomor 25 pasal 98 (1)). Alasan karena malam hari sangat dibutuhkan untuk keluarga dan rawan bagi kesehatan dan kesusilaan pekerja wanita. Disisi lain, perlu pula diperhatikan bahwa tenaga kerja wanita bersama dengan pasangan hidupnya mempunyai tugas dan tanggung jawab mendidik dan mengurus rumah tangga.
Berlakunya jam kerja tersebut tampaknya tidak terlalu menguntungkan bila dilihat dari hilangnya waktu istirahat malam, dan masih adanya tuntutan untuk tetap beraktifitas di pagi hari sebagai sebagai ibu rumah tangga. Disamping itu, tampaknya pemberlakuan jam kerja malam oleh perusahaan secara nyata tidak sejalan dengan ketentuan yang ditetapkan Undang-Undang itu. Masalah jam kerja malam hari perlu mendapat perhatian sendiri.
Ketidak sesuaian penerapan peraturan lebih tampak dengan adanya tenaga kerja wanita yang kebetulan bersetatus pernah menikah dan yang bekerja dari malam hingga pagi hari. Selain bertentangan dengan peraturan, mereka ini adalah orang tua tunggal yang mempunyai anak yang tinggal bersamanya. Kondisi semacam ini menuntut mereka untuk dapat mengatur waktu dan kesehatannya agar dapat mendampingi anaknya. Kalaupun mereka bekerja malam hari hingga pagi hari, atau menggunakan waktu tidur anak sebagai waktu bekerjanya, tetap saja mereka ini dituntut untuk “hadir” saat anak memerlukannya di siang hari,. Akibatnya, tenaga kerja wanita sebagai orang tua tunggal ini tidak lagi mempunyai waktu istirahat yang cukup. Disisi lain, mereka ini tidak mempunyai pasangan hidup yang dapat menggantikan perannya di saat mereka memerlukan istirahat setelah bekerja di malam hari. Dengan tingkat kelelahan yang demikian dan bila ini berlaku untuk waktu yang relaif panjang dapat diperkirakan tingkat kesehatan dan kesejahhteraan ibu dan anak akan menjadi semakin rendah, apalagi jika ditunjang dengan tingkat konsumsi makanan yang kurang memenuhi persyaratan kebutuhan gizi yang minimum dan tingkat kebersihan rendah serta kepadatan lingkungan yang tergolong tinggi.

Tabel: 6 Pekerja  Kerja Malam Hari Dilihat dari Jam Kerja menurut Status Pernikahan
Status pernikahan    Jam kerja malam hari    Pernah bekerja malam hari (f)    TOTAL
(%)
Kawin    15.00-23.00
19.00-07.00
23.00-07.00
20.00-08.00    18
3
2
8    22.79%
(31)
Tidak/belum kawin    15.00-23.00
19.00-07.00
23.00-07.00
20.00-08.00
21.00-06.00    80
9
5
7
1    75%
(102)
Janda    15.00-23.00
19.00-07.00    1
2    2.21%
(3)
TOTAL    136    100%
Sumber: Pusat Penelitian dan Pengembangan Kesejahteraan (2000)

C.    Biografi Singkat Syaikh Taqiyuddin An-Nabhani
1.    Nasab Syaikh Taqiyuddin An-Nabhani
Beliau adalah Syaikh Muhammad Taqiyyuddin bin Ibrahim bin Musthafa bin Ismail bin Yusuf An Nabhani, dinisbahkan kepada kabilah Bani Nabhan, yang termasuk orang Arab penghuni padang sahara di Palestina. Mereka bermukim di daerah Ijzim yang termasuk wilayah Haifa di Palestina Utara.
2.    Kelahiran dan Pertumbuhan Syaikh Taqiyuddin An-Nabhani
Syaikh Taqiyuddin An-Nabhani dilahirkan di Ijzim, masuk wilayah Haifa tahun 1909. Beliau mendapat didikan ilmu dan agama di rumah dari ayah beliau sendiri, seorang syaikh yang faqih fid din. Ayah beliau adalah seorang pengajar ilmu-ilmu syariat di Kementrian Pendidikan Palestina. Ibunda beliau juga menguasai beberapa cabang ilmu syariat yang diperoleh dari kakek beliau, Syaikh Yusuf An-Nabhani. Beliau ini adalah seorang qadhi (hakim), penyair, sastrawan, dan salah seorang ulama terkemuka dalam Daulah Utsmaniyah.
Mengenai Syaikh Yusuf An-Nabhani, beberapa penulis biografi menyebutkan sebagaimana  yang dikutip oleh Ihsan Samarah sebagai berikut:
“(Dia adalah) Yusuf bin Ismail bin Yusuf bin Hasan bin Muhammad An-Nabhani asy-Syafi’i. Julukannya Abul Mahasin. Dia adalah seorang penyair, sufi, dan salah seorang qadhi yang terkemuka. Dia menangani peradilan (qadho’) di Qushbah Janih, termasuk wilayah Nablus. Kemudian beliau berpindah ke Konstantinopel (Istambul) dan diangkat sebagai qadhi untuk menangani peradilan di Sinjiq yang termasuk wilayah Moshul. Dia kemudian menjabat sebagai ketua Mahkamah Jaza’ di al-Ladziqiyah, kemudian di al- Quds. Selanjutnya dia menjabat sebagai ketua Mahkamah Huquq di Beirut. Dia menulis banyak kitab yang jumlahnya mencapai 80 buah.”

Pertumbuhan Syaikh Taqiyuddin dalam suasana keagamaan yang kental seperti itu, mempunyai pengaruh besar dalam pembentukan kepribadian dan pandangan hidup beliau. Beliau telah hafal Al-Qur’an seluruhnya dalam usia yang amat muda, yaitu dibawah usia 13 tahun.
Beliau banyak mendapat pengaruh dai kakek beliau, Syaikh Yusuf an-Nabhani, dan menimba ilmu beliau yang luas. Syaikh Taqituddin juga sudah mulai mengerti masalah-masalah politik yang penting, mengingat kakek beliau mengalami langsung peristiwa-peristiwanya karena mempunyai hubungan erat dengan para penguasa Daulah Utsmaniyah saat itu.
Beliau banyak menarik pelajaran dari majelis-majelis dan diskusi-diskusi fiqih yang diselenggarakan oleh kakek beliau, Syaikh Yusuf an-Nabhani. Kecerdasan dan kecerdikan Syaikh Taqiyuddin yang nampak saat mengikuti majelis-majelis ilmu tersebut telah mewnarik perhatian kakeknya. Oleh karena itu, kakek beliau begitu memperhatikan Syaikh Taqiyuddin dan berusaha meyakinkan ayah beliau -Syaikh Ibrahim bin Musthafa- mengenai perlunya mengirimkan Syaikh Taqiyuddin ke Al Azhar untuk melanjutkan pendidikan beliau dalam ilmu syariah.
3.    Ilmu dan Pendidikan Syaikh Taqiyuddin An-Nabhani
Syaikh Taqiyyuddin menerima pendidikan dasar-dasar ilmu syari’ah dari ayah dan kakek beliau, yang telah mengajarkan hafalan Al Qur’an sehingga beliau hafal Al Qur’an seluruhnya sebelum baligh. Di samping itu, beliau juga mendapatkan pendidikannya di sekolah-sekolah negeri ketika beliau bersekolah di sekolah dasar di daerah Ijzim.
Setelah itu beliau berpindah ke sebuah sekolah di Akka untuk melanjutkan pendidikannya ke sekolah menengah. Sebelum beliau menamatkan sekolahnya di Akka, beliau telah bertolak ke Kairo untuk meneruskan pendidikannya di Al Azhar, guna mewujudkan dorongan kakeknya, Syaikh Yusuf An Nabhani.
Syaikh Taqiyyuddin kemudian meneruskan pendidikannya di Tsanawiyah Al Azhar pada tahun 1928 dan pada tahun yang sama beliau meraih ijazah dengan predikat sangat memuaskan. Lalu beliau melanjutkan studinya di Kulliyah Darul Ulum yang saat itu merupakan cabang Al Azhar. Di samping itu beliau banyak menghadiri halaqah-halaqah ilmiyah di Al Azhar yang diikuti oleh syaikh-syaikh Al Azhar, semisal Syaikh Muhammad Al Hidlir Husain –rahimahullah– seperti yang pernah disarankan oleh kakek beliau. Hal itu dimungkinkan karena sistem pengajaran lama Al Azhar membolehkannya.
Meskipun Syaikh Taqiyyuddin menghimpun sistem Al Azhar lama dengan Darul Ulum, akan tetapi beliau tetap menampakkan keunggulan dan keistimewaan dalam kesungguhan dan ketekunan belajar.
Syaikh Taqiyyuddin telah menarik perhatian kawan-kawan dan dosen-dosennya karena kecermatannya dalam berpikir dan kuatnya pendapat seta hujjah yang beliau lontarkan dalam perdebatan-perdebatan dan diskusi-diskusi fikriyah, yang diselenggarakan oleh lembaga-lembaga ilmu yang ada saat itu di Kairo dan di negeri-negeri Islam lainnya. Syaikh Taqiyyuddin An Nabhani menamatkan kuliahnya di Darul Ulum pada tahun 1932. Pada tahun yang sama beliau menamatkan pula kuliahnya di Al Azhar Asy Syarif menurut sistem lama, di mana para mahasiswanya dapat memilih beberapa syaikh Al Azhar dan menghadiri halaqah-halaqah mereka mengenai bahasa Arab, dan ilmu-ilmu syari’ah seperti fiqih, ushul fiqih, hadits, tafsir, tauhid (ilmu kalam), dan yang sejenisnya.
Pada forum-forum halaqah ilmiyah tersebut, An Nabhani dikenal oleh kawan-kawan dan sahabat-sahabat terdekatnya dari kalangan Al Azhar, sebagai sosok dengan pemikiran yang genial, pendapat yang kokoh, pemahaman dan pemikiran yang mendalam, serta berkemampuan tinggi untuk meyakinkan orang dalam perdebatan-perdebatan dan diskusi-diskusi fikriyah. Demikian juga beliau sangatlah bersungguh-sungguh, tekun, dan bersemangat dalam memanfaatkan waktu guna menimba ilmu dan belajar.
4.    Bidang-Bidang Aktivitas Syaikh Taqiyuddin An-Nabhani
Setelah menyelesaikan pendidikannya, Syaikh Taqiyyuddin An Nabhani kembali ke Palestina untuk kemudian bekerja di Kementerian Pendidikan Palestina sebagai seorang guru di sebuah sekolah menengah atas negeri di Haifa. Di samping itu beliau juga mengajar di sebuah Madrasah Islamiyah di Haifa.
Beliau sering berpindah-pindah lebih dari satu kota dan sekolah semenjak tahun 1932 sampai tahun 1938, ketika beliau mengajukan permohonan untuk bekerja di Mahkamah Syari’ah. Beliau ternyata lebih mengutamakan bekerja di bidang peradilan (qadla’) karena beliau menyaksikan pengaruh imperialis Barat dalam bidang pendidikan, yang ternyata lebih besar daripada bidang peradilan, terutama peradilan syar’iy. Dalam kaitan ini beliau berkata :
“Adapun golongan terpelajar, maka para penjajah di sekolah-sekolah missionaris mereka sebelum adanya pendudukan, dan di seluruh sekolah setelah pendudukan, telah menetapkan sendiri kurikulum-kurikulum pendidikan dan tsaqafah berdasar filsafat, hadlarah (peradaban) dan pemahaman kehidupan mereka yang khas. Kemudian tokoh-tokoh Barat dijadikan sumber tsaqafah (kebudayaan) sebagaimana sejarah dan kebangkitan Barat dijadikan sumber asal bagi apa yang mengacaukan cara berpikir kita.”

Syaikh Taqiyyuddin An Nabhani lalu menjauhi bidang pengajaran dalam Kementerian Pendidikan, dan mulai mencari pekerjaan lain dengan pengaruh peradaban Barat yang relatif lebih sedikit. Beliau tak mendapatkan pekerjaan yang lebih afdol selain pekerjaan di Mahkamah Syar’iyah yang dipandangnya merupakan lembaga yang menerapkan hukum-hukum syara’. Dalam hal ini beliau berkata;
“Adapun An Nizhamul Ijtima’iy, yang mengatur hubungan pria dan wanita, dan segala hal yang merupakan konsekuensinya (yakni Al Ahwalu Asy Syakhshiyyah), tetap menerapkan syari’at Islam sampai sekarang, meskipun telah berlangsung penjajahan dan penerapan hukum-hukum kufur. Tidak diterapkan sama sekali selain Syari’at Islam di bidang itu sampai saat ini…”.

Syaikh Taqiyyuddin sangat berkeinginan untuk bekerja di Mahkamah Syar’iyah. Dan ternyata banyak kawan beliau –yang pernah sama-sama belajar di Al Azhar– bekerja di sana. Dengan bantuan mereka, Syaikh Taqiyyuddin akhirnya dapat diangkat sebagai sekretaris di Mahkamah Syar’iyah Beisan, lalu dipindah ke Thabriya. Namun demikian, karena beliau mempunyai cita-cita dan pengetahuan dalam masalah peradilan, maka beliau terdorong untuk mengajukan permohonan kepada Al Majelis Al Islamy Al A’la, agar mengabulkan permohonannya untuk mendapatkan hak menangani peradilan. Dalam hal ini beliau menganggap bahwa dirinya mempunyai kecakapan untuk menangani masalah peradilan.
Setelah para pejabat peradilan menerima permohonannya, mereka lalu membeliau ke Haifa dengan tsebagai Kepala Sekretaris (Basy Katib) di Mahkamah Syar’iyah Haifa. Kemudian pada tahun 1940, beliau diangkat sebagai Musyawir (Asisten Qadly) dan beliau terus memegang kedudukan ini hingga tahun 1945, yakni saat beliau dipindah ke Ramallah untuk menjadi qadly di Mahkamah Ramallah sampai tahun 1948. Setelah itu, beliau keluar dari Ramallah menuju Syam sebagai akibat jatuhnya Palestina ke tangan Yahudi.
Pada tahun 1948 itu pula, sahabatnya Al Ustadz Anwar Al Khatib mengirim surat kepada beliau, yang isinya meminta beliau agar kembali ke Palestina untuk diangkat sebagai qadly di Mahkamah Syar’iyah Al Quds. Syaikh Taqiyyuddin mengabulkan permintaan itu dan kemudian beliau diangkat sebagai qadly di Mahkamah Syar’iyah Al Quds pada tahun 1948. Kemudian, oleh Kepala Mahkamah Syar’iyah dan Kepala Mahkamah Isti’naf saat itu –yakni Al Ustadz Abdul Hamid As Sa’ih– beliau lalu diangkat sebagai anggota Mahkamah Isti’naf, dan beliau tetap memegang kedudukan itu sampai tahun 1950.
Pada tahun 1950 inilah, beliau lalu mengajukan permohonan mengundurkan diri, karena beliau mencalonan diri untuk menjadi anggota Majelis Niyabi (Majelis Perwakilan).
Pada tahun 1951, Syaikh An Nabhani mendatangi kota Amman untuk menyampaikan ceramah-ceramahnya kepada para pelajar Madrasah Tsanawiyah di Kulliyah Ilmiyah Islamiyah. Hal ini terus berlangsung sampai awal tahun 1953, ketika beliau mulai sibuk dalam Hizbut Tahrir, yang telah beliau rintis antara tahun 1949 hingga 1953.
5.    Aktivitas Politik Syaikh Taqiyuddin An-Nabhani
Sejak remaja Syaikh An Nabhani sudah memulai aktivitas politiknya karena pengaruh kakeknya, Syaikh Yusuf An Nabhani, yang pernah terlibat diskusi-diskusi dengan orang-orang yang terpengaruh peradaban Barat, seperti Muhammad Abduh, para pengikut ide pembaharuan, tokoh-tokoh Freemasonry, dan pihak-pihak lain yang merongrong dan membangkang terhadap Daulah Utsmaniyah.
Perdebatan-perdebatan politik dan aktivitas geraknya di antara para mahasiswa di Al Azhar dan di Kulliyah Darul Ulum, telah menyingkapkan pula kepeduliannya akan masalah-masalah politik.
Beberapa sahabatnya telah menceritakan sikap-sikapnya yang menggaungkan seruan-seruan yang bersifat menantang, yang mampu memimpin situasi Al Azhar saat itu. Di samping itu, beliau juga melakukan berbagai perdebatan dengan para ulama Al Azhar mengenai apa yang harus dilakukan dengan serius untuk membangkitkan umat Islam.
Pada saat Syaikh An Nabhani kembali dari Kairo ke Palestina dan ketika beliau menjalankan tugasnya di Kementerian Pendidikan Palestina, beliau sudah melakukan kegiatan yang cukup menarik perhatian, yakni memberikan kesadaran kepada para murid yang diajarnya dan orang-orang yang ditemuinya, mengenai situasi yang ada saat itu. Beliau juga membangkitkan perasaan geram dan benci terhadap penjajah Barat dalam jiwa mereka, di samping memperbaharui semangat mereka untuk berpegang teguh terhadap Islam. Beliau menyampaikan semua ini melalui khutbah-khutbah, dialog-dialog, dan perdebatan-perdebatan yang beliau lakukan. Pada setiap topik yang beliau sodorkan, hujjah beliau senantiasa kuat. Beliau memang mempunyai kemampuan yang tinggi untuk meyakinkan orang lain.
Beliau pindah pekerjaan ke bidang peradilan, beliau pun lalu mengadakan kontak dengan para ulama yang beliau kenal dan beliau temui di Mesir. Kepada mereka beliau mengajukan ide untuk membentuk sebuah partai politik yang berasaskan Islam untuk membangkitkan kaum muslimin dan mengembalikan kemuliaan dan kejayaan mereka. Untuk tujuan ini pula, beliau berpindah-pindah dari satu kota ke kota lain di Palestina dan mengajukan ide yang sudah mendarah daging dalam jiwa beliau itu kepada tokoh-tokoh terkemuka, baik dari kalangan ulama maupun para pemikir. Kedudukan beliau di Mahkamah Isti’naf di Al Quds sangat membantu aktivitas beliau tersebut.
Beliau dapat menyelenggarakan berbagai seminar dan mengumpulkan para ulama dari berbagai kota di Palestina. Dalam kesempatan itu, beliau mengadakan dialog dengan mereka mengenai metode kebangkitan yang benar. Beliau banyak berdebat dengan para pendiri organisasi-organisasi sosial Islam (Jam’iyat Islamiyah) dan partai-partai politik yang bercorak nasionalis dan patriotis. Beliau menjelaskan kekeliruan langkah mereka, kesalahan pemikiran mereka, dan rusaknya kegiatan mereka. Selain itu, beliau juga sering melontarkan berbagai masalah politik dalam khutbah-khutbah yang beliau sampaikan pada acara-acara keagamaan di masjid-masjid, seperti di Al Masjidil Aqsha, masjid Al Ibrahim Al Khalil (Hebron), dan lain-lain.
Di dalam kesempatan seperti itu beliau selalu menyerang sistem-sistem pemerintahan di negeri-negeri Arab, dengan menyatakan bahwa semua itu merupakan rekayasa penjajah Barat, dan merupakan salah satu sarana penjajah Barat agar dapat terus mencengkeram negeri-negeri Islam. Beliau juga sering membongkar strategi-strategi politik negara-negara Barat dan membeberkan niat-niat mereka untuk menghancurkan Islam dan umatnya. Selain itu, beliau berpandangan bahwa kaum muslimin berkewajiban untuk mendirikan partai politik yang berasaskan Islam.
Semua ini ternyata membuat murka Raja Abdullah bin Al Hussain, lalu dipanggillah Syaikh An Nabhani untuk menghadap kepadanya, terutama karena khutbah yang pernah beliau sampaikan di Masjid Raya Nablus.
Beliau disuruh hadir di suatu majelis lalu ditanya oleh Raja Abdullah mengenai apa yang menyebabkan beliau menyerang sistem-sistem pemerintahan di negeri-negeri Arab, termasuk juga negeri Yordania. Namun Syaikh Taqiyyuddin An Nabhani tidak menjawab pertanyaan itu, dan malah berpura-pura tidak mendengar. Ini mengharuskan Raja Abdullah mengulangi pertanyaannya tiga kali berturut-turut. Akan tetapi Syaikh Taqiyyuddin tetap tidak menjawabnya.
Maka Raja Abdullah pun naik pitam dan berkata kepada beliau:
”Apakah kamu akan menolong dan melindungi orang yang kami tolong dan lindungi, dan apakah kamu juga akan memusuhi orang yang kami musuhi?”.

Lalu, Syaikh Taqiyyuddin berkata kepada dirinya sendiri:
”Kalau aku lemah untuk mengucapkan kebenaran hari ini, lalu apa yang harus aku ucapkan kepada orang-orang sesudahku nanti ?”.

 Kemudian Syaikh Taqiyyuddin bangkit dari duduknya seraya berkata:
”Aku berjanji kepada Allah, bahwa aku akan menolong dan melindungi (agama) Allah dan akan memusuhi orang yang memusuhi (agama) Allah. Dan aku amat membenci sikap nifaq dan orang-orang munafik !”.

Marahlah Raja Abdullah mendengarkan jawaban itu, sehingga dia lalu mengeluarkan perintah untuk mengusir Syaikh Taqiyyuddin dari majelis tersebut dan menangkap beliau. Dan kemudian Syaikh Taqiyyuddin benar-benar ditangkap. Namun kemudian Raja Abdullah menerima permintaan maaf dari beberapa ulama atas sikap Syaikh Taqiyyuddin tersebut lalu memerintahkan pembebasannya, sehingga Syaikh Taqiyyuddin tidak sempat bermalam di tahanan.
Beliau lalu kembali ke Al Quds dan sebagai akibat kejadian tadi, beliau mengajukan pengunduran diri dan menyatakan:
”Sesungguhnya orang-orang seperti saya sebaiknya tidak bekerja untuk melaksanakan tugas pemerintahan apa pun.”.

Syaikh Taqiyyuddin kemudian mengajukan pencalonan dirinya untuk menduduki Majelis Perwakilan. Namun karena sikap-sikapnya yang menyulitkan, aktivitas politik dan upayanya yang sungguh-sungguh untuk membentuk sebuah partai politik, dan keteguhannya berpegang kepada agama, maka akhirnya hasil pemilu menunjukkan bahwa Syaikh Taqiyyuddin dianggap tidak layak untuk duduk dalam Majelis Perwakilan. Namun demikian, aktivitas politik Syaikh Taqiyyuddin tidaklah mandeg dan tekadnya pun tiada pernah luntur. Beliau terus mengadakan kontak-kontak dan diskusi-diskusi, sehingga akhirnya beliau berhasil meyakinkan sejumlah ulama dan qadly terkemuka serta para tokoh politikus dan pemikir untuk membentuk sebuah partai politik yang berasaskan Islam.
Beliau lalu menyodorkan kepada mereka kerangka organisasi partai dan pemikiran-pemikiran yang dapat digunakan sebagai bekal tsaqafah bagi partai tersebut. Ternyata, pemikiran-pemikiran beliau ini dapat diterima dan disetujui oleh para ulama tersebut. Maka aktivitas beliau pun menjadi semakin padat dengan terbentuknya Hizbut Tahrir.
Publikasi pembentukan partai ini secara resmi tersiar tahun 1953, pada saat Syaikh Taqiyyuddin An Nabhani mengajukan permohonan resmi kepada Departemen Dalam Negeri Yordania sesuai Undang-Undang Organisasi yang diterapkan saat itu. Dalam surat itu terdapat permohonan izin agar Hizbut Tahrir dibolehkan melakukan aktivitas politiknya. Dalam surat itu terdapat pula struktur kepengurusan Hizbut Tahrir dengan susunan sebagai berikut :
a.    Taqiyyuddin An Nabhani, sebagai pemimpin Hizbut Tahrir.
b.    Dawud Hamdan, sebagai wakil pemimpin merangkap sekretaris.
c.    Ghanim Abduh, sebagai bendahara.
d.    Dr. Adil An Nablusi, sebagai anggota.
e.    Munir Syaqir, sebagai anggota.
Berdasarkan permohonan yang diajukan tadi, di mana pihak pemerintah diharapkan dapat memaklumi pendirian sebuah partai politik, maka Hizbut Tahrir pun lalu menyewa sebuah rumah di kota Al Quds dan memasang papan nama yang mencantumkan nama Hizbut Tahrir. Akan tetapi Departemen Dalam Negeri Yordania lantas mengirimkan sepucuk surat kepada Hizb yang melarangnya untuk melakukan aktivitas. Inilah teks suratnya :
No : ND/70/52/916
Tanggal : 14 Maret 1953

Kepada Yang Terhormat :
Syaikh Taqiyyuddin An Nabhani
dan seluruh pendiri Hizbut Tahrir

Saya telah meneliti berita yang dilansir oleh surat kabar Ash Sharih edisi hari ini yang berjudul :
“Organisasi Pembebasan (Hai’atut Tahrir) : Pembentukan Partai Politik Secara Resmi di Al Quds.”

Saya berharap dapat memberi pengertian kepada Anda sekalian, bahwa apa yang dilansir mengenai pembentukan partai secara resmi di Al Quds itu, ternyata tidak dapat dibenarkan. Selain itu, kami beritahukan bahwa surat balasan yang Anda terima dari Kepala Kantor saya, menjelaskan bahwa permohonan Anda telah sampai kepada saya. Bahwasanya, Undang-Undang Dasar yang ada tidak mengizinkan aktivitas Anda sekalian. Hal itu karena izin dan pengakuan pembentukan partai, tergantung kepada kepentingan negara –seperti yang saya sampaikan melalui beberapa catatan yang dikirimkan kepada Anda sekalian– yang ternyata tidak mengizinkan adanya pendirian partai.
Atas Nama Departemen Dalam Negeri,
Ali Hasanah

Atas dasar surat ini, pihak kepolisian segera menyerbu rumah yang disewa Hizb tadi dan mencabut papan nama yang ada di sana. Hizb lalu dilarang untuk melakukan kegiatan apa pun.
Sejak saat itu –dan bahkan sampai saat ini– Hizb tidak dibolehkan melakukan aktivitas dan segala aktivitasnya pun dilarang. Namun demikian, Syaikh Taqiyyuddin An Nabhani sama sekali tidak peduli dan tak menggubris semua itu, bahkan beliau tetap bersiteguh untuk melanjutkan misinya menyebarkan risalah yang telah beliau tetapkan sebagai asas-asas bagi Hizb. Beliau memang sangat menaruh harapannya untuk membangkitkan umat Islam pada Hizbut Tahrir, gerakan yang telah beliau dirikan dan beliau tetapkan falsafahnya dengan karakter-karakter tertentu yang beliau gali dari nash-nash syara’ dan sirah Nabi saw. Oleh karena itu, Syaikh Taqiyyuddin kemudian menjalankan aktivitas secara rahasia dan segera membentuk Dewan Pimpinan (Qiyadah) yang baru bagi Hizb, di mana beliau sendiri yang menjadi pucuk pimpinannya. Dewan Pimpinan ini dikenal dengan sebutan Lajnah Qiyadah.
Beliau terus memegang kepemimpinan Dewan Pimpinan Hizb ini sampai wafatnya beliau pada tanggal 25 Rajab 1398 H, bertepatan dengan tanggal 20 Juni 1977 M. Sepanjang masa kepemimpinan beliau, beliau telah melakukan berbagai kegiatan politik yang luas. Hasil yang paling gemilang, ialah beliau mewariskan kepada kita sebuah partai politik yang bermutu tinggi, kuat, dan tersebar luas.
Semua upaya beliau ini telah menjadikan Hizbut Tahrir sebagai partai dengan kekuatan Islam yang luar biasa, sehingga Hizb sangatlah diperhitungkan dan disegani oleh seluruh pemikir dan politikus, baik yang bertaraf regional maupun internasional, kendatipun Hizb tetap tergolong partai terlarang di seluruh negeri di dunia.
Di bawah kepemimpinan beliau, Hizbut Tahrir telah melancarkan beberapa upaya pengambil-alihan kekuasaan di banyak negeri-negeri Arab, seperti di Yordania pada tahun 1969, di Mesir tahun 1973, dan di Iraq tahun 1972. Juga di Tunisia, Aljazair, dan Sudan. Sebagian upaya kudeta ini diumumkan secara resmi oleh media massa, sedang sebagian lainnya memang sengaja tidak diumumkan.
Selain itu, Hizbut Tahrir telah mengeluarkan banyak selebaran (nasyrah) politik yang penting, yang membeberkan berbagai persekongkolan jahat untuk melawan umat Islam. Hizb juga banyak mengirimkan memorandum politik penting kepada para politikus dan penguasa di negeri-negeri Islam dan negeri-negeri Islam lainnya, dengan maksud agar mereka mundur dari pemerintahan dan menyerahkannya kepada Hizb. Atau dengan maksud memberi nasehat dan peringatan atas tindakan-tindakan mereka yang dianggap sebagai tindak pengkhianatan. Atau dengan maksud mengancam mereka bahwa umat suatu saat akan mengoreksi dan memperhitungkan tindakan-tindakan mereka.
Walhasil, aktivitas politik merupakan aspek paling menonjol dalam kehidupan Syaikh Taqiyyuddin. Bahkan sampai-sampai ada yang berpendapat bahwa beliau adalah Hizbut Tahrir itu sendiri, karena kemampuan beliau yang tinggi untuk melakukan analisis politik, sebagaimana yang nampak dalam kecermatan selebaran politik yang dikeluarkan oleh Hizb. Beliau juga banyak menelaah peristiwa-peristiwa politik, lalu mendalaminya dengan amat cermat, disertai pemahaman sempurna terhadap situasi-situasi politik dan ide-ide politik yang ada.
Mereka yang mencermati selebaran-selebaran politik yang dikeluarkan oleh Hizb, juga kitab-kitab mengenai politik yang ditulis oleh Syaikh Taqiyyuddin, serta garis-garis besar langkah politik yang beliau susun untuk membina pemikiran politik syabab Hizb, akan dapat menyimpulkan bahwa Syaikh Taqiyyuddin memang benar-benar mempunyai kemampuan luar biasa dalam masalah politik. Sungguh, beliau termasuk salah seorang pemikir dan politikus terulung pada abad XX ini.
6.    Karya-karya Syaikh Taqiyuddin An-Nabhani
Syaikh Taqiyyuddin An Nabhani wafat tahun 1398 H/ 1977 M dan dikuburkan di Pekuburan Al Auza’i di Beirut. Beliau telah meninggalkan kitab-kitab penting yang dapat dianggap sebagai kekayaan pemikiran yang tak ternilai harganya. Karya-karya ini menunjukkan bahwa Syaikh Taqiyyuddin An Nabhani merupakan seorang yang mempunyai pemikiran brilian dan analisis yang cermat. Beliaulah yang menulis seluruh pemikiran dan pemahaman Hizb, baik yang berkenaan dengan hukum-hukum syara’, maupun yang lainnya seperti masalah ideologi, politik, ekonomi, dan sosial. Inilah yang mendorong sebagian peneliti untuk mengatakan bahwa Hizbut Tahrir adalah Taqiyyuddin An Nabhani.
Kebanyakan karya Syaikh Taqiyyuddin An Nabhani berupa kitab-kitab tanzhiriyah (penetapan pemahaman/pandangan) dan tanzhimiyah (penetapan peraturan), atau kitab-kitab yang dimaksudkan untuk mengajak kaum muslimin untuk melanjutkan kehidupan Islam dengan mendirikan Daulah Islamiyah. Al Ustadz Dawud Hamdan telah menjelaskan karakter kitab-kitab Syaikh Taqiyyuddin –yang termasuk kitab-kitab yang disebarluaskan oleh Hizbut Tahrir– secara mendalam dan tepat dengan pernyataannya :
“Sesungguhnya kitab ini –yakni kitab Ad Daulah Al Islamiyyah– bukanlah sebuah kitab untuk sekedar dipelajari, akan tetapi kitab ini dan kitab lainnya yang telah disebarluaskan oleh Hizbut Tahrir –seperti kitab Usus An Nahdlah, Nizhamul Islam, An Nizham Al Ijtima’i fi Al Islam, An Nizham Al Iqthishady fi Al Islam, Nizham Al Hukm, Asy Syakhshiyah Al Islamiyah, At Takattul Al Hizbi, Mafahim Hizhut Tahrir, Mafahim Siyasiyah li Hizbit Tahrir– menurut saya adalah kitab yang dimaksudkan untuk membangkitkan kaum muslimin dengan jalan melanjutkan kehidupan Islam dan mengemban dakwah Islamiyah.”

Alasan inilah yang menyebabkan kitab-kitab Syaikh Taqiyyuddin terlihat istimewa karena mencakup dan meliputi berbagai aspek kehidupan dan problematika manusia. Kitab-kitab yang membahas aspek-aspek kehidupan individu, politik, kenegaraan, sosial, dan ekonomi tersebut, merupakan landasan ideologis dan politis bagi Hizbut Tahrir, di mana Syaikh Taqiyyuddin menjadi motornya.
Disebabkan beraneka ragamnya bidang kajian dalam kitab-kitab yang ditulis oleh Syaikh Taqiyyuddin, maka tak aneh bila karya-karya beliau mencapai lebih dari 30 kitab. Ini belum termasuk memorandum-memorandum politik yang beliau tulis untuk memecahkan problematika-problematika politik. Belum lagi banyak selebaran-selebaran dan penjelasan-penjelasan mengenai masalah-masalah pemikiran dan politik yang penting.
Karya-karya Syaikh Taqiyyuddin, baik yang berkenaan dengan politik maupun pemikiran, dicirikan dengan adanya kesadaran, kecermatan, dan kejelasan, serta sangat sistematis, sehingga beliau dapat menampilkan Islam sebagai ideologi yang sempurna dan komprehensif yang diistimbath dari dalil-dalil syar’i yang terkandung dalam Al Kitab dan As Sunnah. Karya-karya beliau dapat dikatakan sebagai buah usaha keras pertama yang disajikan oleh seorang pemikir muslim pada era moderen ini di dalam jenisnya.
Karya-karya syaikh taqiyuddin an-nabhani yang paling terkenal, yang memuat pemikiran dan ijtihad beliaun diantaranya: Nizamul-Islam, Mafahim Hizbut-Tahrir, At-Takatul-Hizbi, An-Nizamul-Iqtisadi fil-Islam, An-Nizamul-Ijtima’i, Nizamul-Hukmi fil-Islam, Ad-Dustur, Muqqadimatud-Dustur, Ad-Daulatul-Islamiyah, Asy-Syakhsiyatul-Islamiyah Juz I,II dan III, Nazarah Siyasiyah, Nida’un Har, Al-Khilafah, At-Tafkir, Ad-Dausiyah, Sur’atul-Badihah, Nuqtatul-Intilaq, Dukhulul-Mujtama’, Inqazu Falastin, Risalatul-Arab, Tasalluh Misra, Ittifaqiyah As-Suna’iyatul-Misiriyah As-Suriyah wal Yamaniyah, Hallu Qadiyati Falastina ‘Ala Tariqatil-Amrikiyah wal-Injiliziyah, Nazariyatul-Faragus-Siyasa Haula Masyru’i Aizanhawer.
Semua ini belum termasuk ribuan selebaran-selebaran (nasyrah) mengenai pemikiran, politik, dan ekonomi, serta beberapa kitab yang dikeluarkan atas nama anggota Hizbut Tahrir –dengan maksud agar kitab-kitab itu mudah beliau sebarluaskan– setelah adanya undang-undang yang melarang peredaran kitab-kitab karya Syaikh Taqiyyuddin. Di antara kitab itu adalah : As Siyasah Al Iqthishadiyah Al Mutsla, Naqdlul Isytirakiyah Al Marksiyah, Kaifa Hudimat Al Khilafah, Ahkamul Bayyinat, Nizhamul Uqubat, Ahkamush Shalat, Al Fikru Al Islami.
Apabila karya-karya Syaikh Taqiyyuddin tersebut ditelaah dengan seksama, terutama yang berkenaan dengan aspek hukum dan ilmu ushul, akan nampak bahwa beliau sesungguhnya adalah seorang mujtahid yang mengikuti metode para fuqaha dan mujtahidin terdahulu. Hanya saja, beliau tidak mengikuti salah satu aliran dalam ijtihad yang dikenal di kalangan Ahlus Sunnah. Artinya, beliau tidak mengikuti suatu madzhab tertentu di antara madzhab-madzhab fiqih yang telah dikenal, akan tetapi beliau memilih dan menetapkan (mentabanni) ushul fiqih tersendiri yang khusus baginya, lalu atas dasar itu beliau mengistimbath hukum-hukum syara’.
Perlu diingat di sini bahwa ushul fiqih Syaikh Taqiyyuddin An Nabhani tidaklah keluar dari metode fiqih Sunni, yang membatasi dalil-dalil syar’i pada Al Kitab, As Sunnah, Ijma’ Shahabat, dan Qiyas Syar’iy, yakni Qiyas yang illat-nya terdapat dalam nash-nash syara’ semata.




DAFTAR PUSTAKA

Al-Qur’an al-Karim, Departemen Agama RI
Afifuddin dan Beni Ahmad Saebani, Metodologi Penelitian Kualitatif, Pustaka Setia, Bandung, 2009
Arikunto, Suharsimi, Prosedur Penelitian Suatu Pendekata Praktek, Penerbit Rineka Cipta, Jakarta, 2002
As-Sabatin, Yusuf, Bisnis Islami dan Kritik atas Praktik Bisnis ala Kapitalis (terj.), Al-Azhar Press, Bogor, 2009
‘Atha bin Khalil, Ushul Fiqh: Kajian Ushul Fiqh Mudah dan Praktis (terj.), Pustaka Thariqul Izzah, Bogor, 2003.
An-Nabhani, Taqiyuddin, Membangun Sistem Ekonomi alternatif perspektif Islam, Risalah Gusti, Surabaya, 1996
    , Sistem Ekonomi Islam, Tim HTI Press, Jakarta, 2010
    , An-Nizham Al-Ijtima’i fi Al-Islam (terj.), HTI Press, Jakarta, 2011
    , Asy Syakhshiyah al Islamiyah  jilid 1 (terj.), HTI Press, Jakarta, 2008.
    , Asy Syakhshiyah al Islamiyah  jilid 3 (terj.), HTI Press, Jakarta, 2008.
Badan Pemberdayaan Perempuan Dan Masyarakat, Profil Gender Dan Anak, Profinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, 2011
Bugin, burhan, penelitian kualitatif: komunikasi, ekonomi, kebijakan public, dan ilmu social lainnya, kencana, Jakarta, ed. 1, cet. 4, 2010
Bhattacharya  A.,and J.D. Glothlin, Occupational Ergonomics Theory and applications, Marcel Dekker, Inc. 1996
Dawabah, Asyraf  Muhammad,  Muslimah Karier (terj.), Mashun, Sidoarjo, 2009
Fauzi, Ridzal, Dinamika Gerakan Wanita di Indonesia,Tiara Wacana, Yogyakarta,  2000 
Habib, Sa’di Abu, Ensiklopedi Ijma’: Persepakatan Ulama Dalam Hukum Islam (terj), Pustaka Firdaus, Jakarta, 1987
Hasyim, Syafiq, Hal-hal Yang Tak Terpikirkan Tentang Isu-isu Keperempuanan Dalam Islam: Sebuah Dokumentasi, Mizan,  Bandung, 2001
Indah Haruswati dkk, Masalah Tenaga Kerja Wanita di Sektor Industri, Pusat Penelitian dan Pengembangan Kesejahteraan Sosial Deputy IV, Cet. 1,  Jakarta, 2000
Ismail, Muhammad et.al, Pengantar Manajemen Syariat, cet. 2, Khairul Bayan, Jakarta Selatan, 2003
Iwan Prayitno, Wanita Islam Perubah Bangsa, Pustaka Tarbiatuna, Jakarta, 2003
Lexy J Moeloeng, Metode Penelitian Kualitatif, PT Remaja Rosdakarya, Bandung 2000.
Manuaba, A, Ergonomi, Kesehatan dan Keselamatan Kerja, Editor: Sritomo W dan Schultz, D.P. Psychology and Industry Today, An Introduction to Industrial and Organizational Psychology, Third Edition, Macmillan Publishing Co. Inc., New York, 1982
Matar, Husain, Al-Targhib wa Al-Tarhib, Al-Hidayah, Surabaya
Maurits, Lientje Setyawati, Widodo, Imam Djati “Faktor Dan Penjadualan Shift Kerja” Program Studi Ilmu Kesehatan Kerja, Fakultas Kedokteran, Universitas Gadjah Mada dan Program Studi Teknik Industri, Fakultas Teknologi Industri, Universitas Islam Indonesia, jurnal Teknoin, Volume 13, Nomor 2, Desember 2008, 11-22 ISSN: 0853-8697
Mughniyah, Muhammad Jawad, Fiqh Lima Madzhab: Ja’fari, Hanafi, Maliki, Syafi’I, Hambali, (terj), PT Lentera Basritama , Jakarta, , cet. VII, 2001
Muhammad, Metodologi Penelitian Ekonomi Islam Pendekatan Kuantitatif, Rajawali Press, Jakarta, 2008.
Oxford University Press, Oxford Advanced  Learner’s Dictionary, United Kingdom, 2005
Prayitno, Iwan, Wanita Islam Perubah Bangsa, Pustaka Tarbiatuna, Jakarta, 2003
Pulat, B.M. Fundamental of Industrial Ergonomics, Prentice Hall, Englewood Cliffs, New Jersey, USA, 1992
Puteri, Ruri Kartika, “ gambaran stress kerja pada perawat shift malam di ruang instalasi gawat darurat RSUD di pirngadi medan tahun 2009” Skripsi Sarjana. Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara, Medan, 2009
Ridzal, Fauzi, Dinamika Gerakan Wanita di Indonesia,Tiara Wacana, Yogyakarta,  2000
Saksono,A, Perlindungan Tenaga Kerja Wanita. Model Kursus Tertulis bagi Dokter Hyperkes Pusat Pelayanan Ergonomic KKK Departemen, Jakarta, 1991
Salim, Amru Abdul Mun'in, Sifat-sifat Istri Shalihah, Najla Press, Jakarta, 2005
Samarah, Ihsan, Mafhum Al Adalah al Ijtima’iyah fi Al Fikri Al Islami Al Mu’ashir (terj), Dar An Nahdlah Al Islamiyah, Beirut, cet. II, 1991 (syaikh Taqiyyuddin An-Nabhani pendiri hizbut-tahrir, http://hizbut-tahrir.or.id)
Sharpe, J, Shift work and long hours: risky business, Rock Product, January, 2007
Shihab, Quraish, Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an, vol. 11, Lentera hati , cet. I, Jakarta, 2003
Soeratno dan Lincolin Arsyad, Metode Penelitian Untuk Ekonomi Dan Bisnis, Unit Penerbit dan Percetakan (UPP) AMP YKPN, Yogyakarta, 1993
Suma’mur, P.K. Ergonomi untuk Produktivitas Kerja, Yayasan Swabhawa Karya, Jakarta, 1993
Sumbulah, Umi dkk, Spektrum Gender, UIN Press, Malang, 2008
Tarwaka, Produktivitas dan Pemanfaatan Sumberdaya Manusia, Majalah Hiperkes dan Keselamatan Kerja, Jakarta, XXI (4) dan XXII (1), 1999
Tayyari, F., and J.L., Occupational Ergonomics Principles and applications, T.J. Press Ltd, Great Britain, Smith, 1997
     dan Smith, J. L, Occupational Ergonomics: Principles and Applications, Chaman & Hall, London, 1997
Tim Penulis Komunitas Pengusaha Rindu Syariah (PRS), Pokok-Pokok Panduan Implementasi Syariah dalam Bisnis, Cetakan ke 2, Pustaka PRS, Bogor, 2010
Badan Pemberdayaan Perempuan Dan Masyarakat, Profil Gender Dan Anak, Profinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, 2011, hal. 34-35, diakses 5 Mei 2012
http: hizbut-tahrir.or.id, Rahma Qomariyah, Wanita Dipersimpangan Jalan: Kepala Rumah Tangga Perempuan Atau Ibu Rumah Tangga, diakses 13 Agustus 2012
http:health.detik.com, Andri, gangguan tidur akibat shift kerja, diakses 30 Oktober 2012
http:www.kabar6.com, Waspada Serangan Jantung di Usia Muda, diakses 30 Oktober 2012
web. regulasi.com, Peraturan Menteri Tenaga Kerja R.L. Nomor per-04/men/1989, diakses   27 Juni 2012  
www.dedylondong.blogspot.com, Dedy Londong, Penjadwalan Shift Kerja, di akses 12 Oktober 2012
www.bappenas.go.id, Peranan Wanita, Anak Dan Remaja Dan Pemuda, diakses 25 Juli 2012
www.hizbut-tahrir.or.id, Al-Islam, kapitalisme demokrasi gagal melindungi kaum wanita, diakses 12 Oktober 2012
LihatTutupKomentar