WANITA BEKERJA DENGAN POLA SHIFT MALAM DALAM TINJAUAN HUKUM ISLAM

WANITA BEKERJA DENGAN POLA SHIFT MALAM

DALAM TINJAUAN HUKUM ISLAM



ABSTRAKSI


Analisis Kritis terhadap jam kerja malam pada karyawan wanita dalam tinjauan hukum Islam merupakan penelitian yang bertujuan untuk menganalisis batasan-batasan wanita bekerja  dan menjelaskan hukum wanita bekerja pada shift kerja malam, dimana pemikiran Taqiyuddin An-nabhani sebagai tolak ukurnya dan diperkuat dengan pandangan Fiqh klasik.
Dalam penelitian ini digunakan metode penelitian kualitatif, yang temuan-temuannya tidak diperoleh melalui prosedur statistik atau bentuk hitungan lainnya. Penelitian dilakukan melalui studi literatur pada berbagai sumber data. Selanjutnya data dianalisis dengan menggunakan komparasi antara fakta wanita bekerja pada shift malam dan tinjauan hukum Islam. Hasil analisis selanjutnya dideskripsikan
Dari hasil penelitian yang telah dilakukan, diperoleh hasil bahwa wanita bekerja pada shift malam dari segi faktanya tidak sesuai dalam hukum islam. Sedangkan dari segi hukumnya haram, Keharaman ini hanya berlaku bagi seorang pekerja wanita yang menimbulkan madharat/bahaya  bagi kehormatan dan agamanya. Namun tidak berlaku bagi pekerja wanita yang tidak mengalaminya. Kemudian, diperoleh rekomendasi bahwa pekerjaan wanita hendaknya sesuai dengan fitrah dan kemampuan fisiknya.

Kata Kunci : Wanita Bekerja dalam Syariah, Shift Kerja Malam.


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah
Meski bukan sebuah fenomena yang baru lahir, akan tetapi permasalahan mengenai wanita bekerja di ranah publik tampaknya masih terus menjadi perdebatan hingga saat ini. Bagaimanapun, sebagian masyarakat masih memandang keluarga yang ideal adalah suami bekerja di luar rumah dan isteri di rumah dengan mengerjakan berbagai pekerjaan rumah tangga.  Anggapan negatif (stereotype) yang kuat di masyarakat masih menganggap idealnya suami berperan sebagai pencari nafkah, dan pemimpin yang penuh kasih, sedangkan istri menjalankan fungsi pengasuhan anak.
Dalam rumah tangga, Allah memberikan peran bagi suami adalah sebagai pemimpin rumah tangga dan wajib memimpin, melindungi dan memberi nafkah kepada anggota keluarganya. Sedangkan peran istri sebagai ibu dan pengatur rumah tangga yang bertanggug jawab mengatur rumah tangganya di bawah kepemimpinan suami.   Sebagaimana firman Allah yang berbunyi:
Artinya: Suami itu pengayom bagi istri, karena Allah telah melebihkan sebagian mereka atas sebagian yang lain, dan karena mereka telah memberikan nafkah dari hartanya.(QS. Al-Nisa (4): 34)
Namun di sisi lain ada sebagian kelompok yang membuka pintu selebar-lebarnya bagi seorang wanita untuk keluar rumah tanpa adanya ikatan dan norma dan melepaskan pengawasan terhadapnya agar dia bisa berbuat sesuai kehendaknya tanpa syarat dan batasan, sebagaimana keadaan wanita di Barat.
Pada masa sekarang ini, wanita ikut berpartisipasi meningkatkan kesejahteraan keluarga dengan cara bekerja merupakan hal biasa. Eksistensi kaum wanita di abad ke-20 ini tidak hanya sebagai ibu rumah tangga, akan tetapi juga dapat bekerja membantu suami meningkatkan penghasilan karena tuntutan kebutuhan ekonomi keluarga. Wanita memiliki beberapa potensi yang juga tidak kalah dibanding dengan kaum pria, baik dari segi intelektual, kemampuan, maupun keterampilan.
Pekerja wanita atau buruh wanita yang bekerja di perusahaan saat sekarang ini mengalami situasi dramatis. Situasi dilematis secara progresif cenderung memiliki dampak "marginalisasi" dan "privatisasi" pekerjaan wanita, serta mengkonsentrasikan di dalam bentuk pekerjaan pelayanan yang tidak produktif. Kenyataan ini menimbulkan fenomena menurunnya posisi kaum wanita dalam bidang pekerjaan.
Fenomena wanita dalam bidang pekerjaan juga dikenal sebagai "industrial redeployment", terutama terjadi melalui pengalihan proses produksi di dalam industri manufaktur dari negara-negara maju ke negara-negara berkembang. Pengalihan proses produksi yang meliputi transfer kapital, teknologi, mesin-mesin, dan lingkungan kerja industrial barat ke negara-negara sedang berkembang tersebut sebagaimana diketahui terutama terjadi di dalam industri-industri tekstil, pakaian, dan elektronik. Akan tetapi, dikarenakan komoditi industri-industri tersebut telah mencapai tingkat perkembangan lanjut di dalam siklus produksi, hanya tenaga kasar dan tenaga setengah kasar yang diperlukan di dalam pengalihan proses produksi dari negara-negara maju ke negara-negara sedang berkembang. Termasuk Indonesia.
Di dalam dunia usaha manusia tetap memegang peranan yang sangat penting, karena manusia adalah sebagai pusat pelaksana dari segala kegiatan di bidang usaha, baik itu usaha jasa maupun barang. Tetapi manusia akan lebih memegang peranan penting di dalam bidang usaha jasa. Sebagai contohnya di bidang manufaktur yang dewasa ini semakin berkembang. Seperti yang diketahui saat ini bidang manufaktur di Indonesia sudah semakin maju dan canggih. Seperti yang diketahui bahwa kemampuan kerja seseorang itu sangat terbatas di mana banyak faktor yang membatasi kegiatan manusia, antara lain fisik, daya pikir, pendidikan dan latihan, sikap, waktu, dan tempat.
Rutenfranz menyatakan adanya Shift kerja dan kelompok kerja juga dapat berpengaruh terhadap manusia. Didalam dunia perusahaan oleh karena alasan teknis, ekonomi maupun sosial, maka banyak dari perusahaan menerapkan beberapa Shift kerja tambahan, yakni Shift kerja pagi, Shift siang dan malam. Kondisi kerja dengan waktu yang berbeda tersebut sering menyebabkan berbagai gangguan, seperti gangguan fisiologis (kualitas tidur rendah, kapasitas fisik maupun mental turun, gangguan saluran pencernaan), gangguan psikologis, sosial maupun gangguan performasi kerja. Sharpe menyatakan bahwa pekerja pada shift malam memiliki resiko 28% lebih tinggi mengalami cidera atau kecelakaan.
Tarwaka mengatakan bahwa 63% pekerja menderita kelelahan akibat pengaruh shift kerja yang dapat berakibat terjadi kecelakaan kerja.  Sedangkan menurut Manuaba kelelahan bersifat subjektif akibat shift kerja, yaitu tidak dapat tidur siang, selera makan menurun, gangguan pencernaan, nyeri lambung.  Dan Grandjean sekitar 60–70% pekerja shift malam menderita gangguan tidur.
Menurut Schultz shift kerja malam lebih berpengaruh negatif terhadap kondisi pekerja dibanding shift pagi, karena pola siklus hidup manusia pada malam hari umumnya digunakan untuk istirahat. Namun karena bekerja pada shift malam maka tubuh dipaksa untuk mengikutinya. Hal ini relatif cenderung mengakibatkan terjadinya kesalahan kerja, kecelakaan dan absentism. Pulat  mengatakan bahwa dampak shift kerja malam terutama gangguan irama tubuh yang menyebabkan penurunan kewaspadaan, gangguan fisiologis dan psikologis berupa kurang konsentrasi, nafsu makan menurun, penyakit jantung, tekanan darah, stress dan gangguan gastrointestinal yang dapat meningkatkan resiko terjadi kecelakaan kerja.
Kondisi seperti ini juga terjadi pada tenaga kerja Indonesia yang bekerja shift malam baik pekerja laki-laki maupun wanita. Hal ini berdampak buruk bagi kesehatan pekerja dan juga mempengaruhi kehidupan rumah tangganya. Kasus ini juga terjadi di kota-kota industri seperti Bogor, Tanggerang, Bekasi bahkan ibu kota Jakarta. Cerita salah satu pasien di bawah ini mungkin bisa membantu memahami bagaimana waktu kerja bisa mempengaruhi tidurnya.
"Saya adalah seorang pekerja disuatu pabrik. Kerja saya kebanyakan shift malam yang dimulai pukul 10 malam sampai pukul 6 pagi. Hal ini sudah berlangsung hampir 5 tahun. Shift malam ini biasanya bergantian selang tiga hari. Permasalahan tentang tidur saya mulai timbul mulai 3 tahun yang lalu. Saya kesulitan tidur sepulang kerja shift malam. Ketika shift saya berganti ke pagi hari juga saya sebaliknya tidak bisa tidur di malam hari. Sialnya walau tidak bisa tidur saya kerap mengantuk dan sulit konsentrasi walaupun saya tetap tidak bisa terlelap. Saya sudah mencoba beberapa obat tidur dari yang dijual bebas sampai yang akhirnya diresepkan dokter tetapi tetap tidak banyak membantu. Saya juga akhirnya menjadi mengalami kesulitan dalam hubungan seksual karena tidak bergairah dan sulit terangsang". (Tuan A, Laki-laki, usia 50 tahun).

Selain itu, gangguan tidur malam yang buruk selama enam kali berturut-turut, juga dapat memicu timbulnya diabetes dan penyakit jantung.
Profesor Philippe Froguel dari Imperial College London mengatakan: "Kontrol gula darah adalah salah satu dari banyak proses yang diatur oleh jam biologis tubuh," katanya, Ahad (29/1).

Salah satu jam biologis tubuh adalah tidur. Terganggunya proses tidur itu akan berdampak pada kontrol gula darah.
Berdasarkan latar belakang inilah, penulis terdorong untuk menyusun skripsi ini, sehingga mengambil judul “Wanita Bekerja Dengan Pola Shift Malam Dalam Tinjauan Hukum Islam”.


B.    Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dipaparkan di atas, maka penulis menyusun rumusan masalah skripsi sebagai berikut:
1.    Bagaimana batasan-batasan wanita bekerja dalan tinjauan Islam?
2.    Bagaimana hukum wanita bekerja pada shift malam dalam Tinjauan Hukum Islam?

C.    Batasan Masalah
Agar pembahasan dalam skripsi ini lebih fokus dan memperoleh hasil yang lebih baik serta berkualitas, maka penelitian ini lebih dititik beratkan pada “Batasan dan hukum wanita bekerja pada shift malam dalam Tinjauan Hukum Islam”. Dimana pemikiran taqiyuddin an-nabhani sebagai tolak ukurnya dan diperkuat dengan pendapat fiqh klasik.

D.    Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah:
1.    Untuk menjelaskan batasan-batasan wanita bekerja dalam Tinjauan Hukum Islam
2.    Menjelaskan mengenai hukum wanita bekerja pada jam kerja malam (shift night) dalam Tinjauan Hukum Islam



E.    Manfaat Penelitian
Peneliti pasti mengharapkan hasil penelitiannya mempunyai manfaat tertentu bagi dirinya sendiri pada khususnya dan bagi orang lain pada umumnya. Manfaat penelitian ini yaitu :
1.    Secara teoritis
Dapat menambah khazanah keIslaman tentang wanita yang bekerja di ranah publik dalam hukum Islam maupun pandangan manajemen sumberdaya manusia islami, serta dapat dijadikan bahan referensi bagi penelitian yang sejenis dengannya di masa yang akan datang.
2.    STEI Hamfara
Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan salah-satu sumber referensi dan masukan pemikiran baik untuk kalangan akademisi khususnya STEI Hamfara, praktisi maupun mahasiswa serta dijadikan bahan pertimbangan untuk menyelesaikan persoalan-persoalan yang terkait dengan wanita yang bekerja di sektor publik dengan pola shift malam.
3.    Penulis 
Melalui penelitian ini, penulis diharapkan dapat memperoleh pengetahuan dan pemahaman yang lebih mendalam tentang fakta yang diteliti, dalam hal ini adalah mengenai tinjauan hukum Islam tentang wanita bekerja dengan pola shift malam.



4.    Pihak Lain
Membantu menyumbangkan pemahaman yang berkaitan dengan konsep ekonomi Islam sehingga dapat menambah khasanah keilmuan khususnya bagi pengembangan ekonomi Islam.

F.    Metodologi Penelitian
1.    Jenis Penelitian
Penelitiant ini merupakan penelitian kualitatif yang bersifat deskriptif (deskriptive research). Penelitian kualitatif adalah jenis penelitian yang menghasikan penemuan-penemuan yang tidak dapat dicapai atau diperoleh melalui prosedur-prosedur statistik atau dengan cara-cara lain dari kuantifikasi (pengukuran). Selanjutnya, penelitian kualitatif dipilih karena kemantapan peneliti berdasarkan pengalaman penelitiannya dan metode kualitiatif dapat memberikan rincian yang lebih kompleks tentang fenomena yang sulit diungkapkan oleh metode kuantitatif.
2.    Desain Penelitian
Sebagaimana yang dikutip oleh Muhammad dari Kerlinger, desain penelitian merupakan rencana dan struktur penyelidikan yang dibuat sedemikian rupa agar diperoleh jawaban atas pertanyaan-pertanyaan penelitian. Rencana ini merupakan program menyeluruh dari penelitian. Suatu desain penelitian menyatakan baik struktur masalah penelitian maupun rencana penyeledikan yang akan dipakai untuk memperoleh bukti empiris mengenai hubungan-hubungan dalam masalah.
Dalam penelitian ini, desain yang digunakan oleh penulis adalah penelitian deskriptif yaitu, penelitian yang bertujuan menguraikan sifat-sifat atau karakteristik dari suatu fenomena tertentu.
a)    Tahap Deskriptif
Tahap Deskriptif  yang dilakukan pada penelitian ini adalah tahapan pengkajian yang dilakukan dengan pendekatan fenomenologis. Menurut Muhadjir Sebuah penelitian yang menggunakan pendekatan fenomenologis menuntut dilakukannya pendekatan yang bersifat holistik, mendudukkan obyek penelitian dalam konstruksi ganda, melihat obyeknya dalam satu konteks natural, bukan parsial. Fenomenologis menuntut bersatunya subyek peneliti dengan obyek penelitian. Untuk menghasilkan gambaran yang tepat tentang fenomena antropologis, peneliti menggunakan pendekatan induktif, dalam lingkup yang tidak terlalu luas, fleksibel dan kontekstual.
b)    Tahap komparatif
Pendekatan yang digunakan pada tahap analitik ini adalah dengan pendekatan analisis komparatif. Setelah mendeskripsikan obyek penelitian, maka tahap selanjutnya adalah menganalisis objek penelitian yang telah dideskripsikan sesuai dengan pembahasan masalah pada penelitian ini. Menurut Utomo Analisis yang digunakan dengan menggunakan analisis komparatif, yaitu suatu penelitian yang bersifat membandingkan. Variabelnya masih sama dengan penelitian varabel mandiri tetapi untuk sampel yang lebih dari satu, atau dalam waktu yang berbeda.
3.    Sumber  Data
Sumber data yang digunakan dalam pnelitian ini adalah data sekunder. Data sekunder adalah data yang diperoleh dalam bentuk yang sudah jadi yang di keluarkan oleh pihak yang berwenang, yang berupa buku literatur, jurnal ilmiah, internet, dan sumber lain yang berhubungan dengan masalah yang di teliti.  Data ini diperoleh penulis antara lain dari literatur-literatur yang mendukung, dengan melakukan pengumpulan bahan-bahan dari berbagai perpustakaan dengan data tekstual. Data sekunder dalam penelitian ini diantaranya adalah buku-buku karya Taqiyuddin An-Nabhani seperti Membangun Sistem Ekonomi alternatif perspektif Islam, Sistem Ekonomi Islam, An-Nizham Al-Ijtima’i fi Al-Islam, Asy Syakhshiyah al Islamiyah  jilid 1, Asy Syakhshiyah al Islamiyah  jilid 3, serta buku-buku lain yang berkaitan dengan penelitian ini.
4.    Teknik Pengumpulan Data
Dalam penelitian ini, teknik yang digunakan adalah metode dokumentasi.  Dokumentasi berasal dari kata dokumen, yang artinya barang-barang tertulis. Di dalam melaksanakan metode dokumentasi peneliti menyelidiki benda-benda tertulis seperti catatan, transkrip, buku, surat kabar, majalah, prasasti, notulen rapat, lengger, agenda, dan sebagainya.
Dokumen telah lama digunakan dalam penelitian sebagai sumber data karena dalam banyak hal dokumen sebagai sumber data dimanfaatkan sebagai alat untuk menguji, menafsirkan, bahkan untuk meramalkan. Dokumen ini sesuai untuk digunkan dalam penelitian kualitatif karena sifatnya alamiah dan sesuai dengan konteks yang ada.
Dalam penelitian ini, dokumen-dokumen yang digunakan adalah berupa buku-buku yang terkait dengan permasalahan perempuan yang bekerja di sektor publik terutama pada shift malam.
5.    Teknik Analis Data
Analisis data adalah proses mengorganisasikan dan mengurutkan data ke dalam pola, kategori dan suatu uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema dan dapat dirumuskan hipotesis kerja seperti yang disarankan oleh data .
Penelitian deskriptif yaitu penelitian berusaha untuk menuturkan pemecahan masalah yang ada sekarang berdasarkan data-data, menyajikan, menganalisis dan menginterpretasi data.

Analisis data dalam penelitian ini menggunakan pendekatan analisis isi (content analisis) adalah teknik penelitian untuk membuat inferensi-inferensi yang dapat ditiru (replicable), dan sahih data dengan memerhatikan konteksnya.  Secara lebih jelas, alur analisis dengan menggunakan Teknik Content Analysis seperti pada tabel berikut:
Tabel: 1 teknik content analysis



Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah menjabarkan tentang fakta-fakta wanita bekerja dengan pola shift malam dan konsep mempekerjakan wanita pada malam hari yang diperoleh dari data sekunder. Kemudian menganalisa data yang telah diperoleh dalam Tinjauan Islam serta mencoba mengggali dasar hukum  kasus pekerja wanita dengan pola shift malam. Langkah akhir adalah penarikan kesimpulan dari pembahasan yang telah diuraikan.






G.    Sistematika Pembahasan
Agar memperoleh penulisan penelitian yang sistematis dan konsisten, penulisan penelitian ini terdiri dari lima bab dan beberapa sub bab. Adapun penelitian ini disusun dengan sistematika sebagai berikut:
BAB I.    PENDAHULUAN
Bab ini menjelaskan gambaran umum mengenai sistematika penulisan secara menyeluruh. Dimulai dengan penjelasan latar belakang masalah, rumusan masalah, batasan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metodologi penelitian dan sistematika penulisan hasil penelitian.
BAB II.     LANDASAN  TEORI
Bab ini menguraikan teori-teori yang digunakan untuk mendukung penelitian agar didapat gambaran yang jelas tentang kedudukan wanita dan aktivitas wanita bekerja dalam syariah, aqad kerja dalam tinjauan syariah serta shift kerja. Adapun sumber teori-teori adalah berasal dari berbagai buku  referensi, internet dan sumber lainnya yang dianggap representative sebagai pengayaan teori penelitian.
BAB III.   DESKRIPSI OBJEK PENELITIAN
Bab ini menguraikan tentang gambaran umum kondisi pekerja wanita  pada shift sebagai acuan penelitian.


BAB IV.   ANALISIS DATA
Dalam Bab ini akan membahas tentang persyaratan wanita bekerja menurut peraturan mentri dan Tinjauan Hukum Islam, Batasan-batasan wanita bekerja shift malam dan menggali hukum wanita bekerja shift malam menurut Tinjauan Islam, disajikan pembahasan secara analisis untuk menemukan jawaban dari rumusan permasalahan yang telah penulis susun dan dianalisis menurut pendapat syaikh Taqiyuddin An-Nabhani sebagai tolak ukurnya.
BAB V.    PENUTUP
Bab ini merupakan perumusan terakhir dari keseluruhan isi skripsi yang diwujudkan dalam bentuk kesimpulan dari pembahasan penelitian, kemudian dilanjutkan dengan saran-saran serta harapan penulis atas terselesaikannya skripsi ini.



BAB II
LANDASAN TEORI

A.    Kedudukan Wanita dalam Syariah
Syaikh Taqiyuddin An-Nabhani menjelaskan dalam bukunya “peraturan hidup dalam islam” bahwa Berbagai hak, kewajiban dan taklif syariah ada kalanya terkait dengan karakter wanita dengan predikatnya sebagai wanita, dan terkait dengan posisinya di dalam suatu komunitas (jamaah), atau keberadaannya di dalam masyarakat. 
Imam al-Bukhârî mengeluarkan hadits dari jalur ’Uqbah bin al-Hârits, ia berkata:
“Aku menikahi seorang wanita, lalu datang seorang wanita dan berkata: “Sesungguhnya aku Allah SWT telah menetapkan bekerja untuk mencari nafkah sebagai kewajiban bagi pria. Sebaliknya, bekerja untuk mencari nafkah bukan merupakan kewajiban bagi wanita, tetapi hanya sekadar mubah (boleh) saja. Jika dia menghendaki, dia boleh melakukannya; jika dia tidak menghendakinya, dia boleh untuk tidak melakukannya”.

Allah SWT berfirman:
“Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya.” (TQS ath-Thalâq [65]: 7).

Dan Allah SWT juga berfirman:

“Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu.” (TQS al-Baqarah [2]: 233)

Jadi Allah menetapkan bekerja mencari nafkah sebagai kewajiban bagi pria. Islam telah menetapkan bahwa urusan kepemimpinan (qawwâmah) adalah diperuntukkan bagi pria atas wanita. Islam menetapkan para suami memiliki hak kepemimpinan, mengeluarkan perintah dan larangan.
Allah SWT berfirman:
“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka, sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka).Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka menta`atimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.” (TQS an-Nisâ’[4]: 3) ”.

Allah SWT telah menjelaskan bahwa kepemimpinan dalam rumah tangga adalah bagi kaum pria, karena Allah SWT telah menetapkan berbagai tambahan taklif kepada mereka, seperti pemerintahan, imamah shalat, perwalian dalam pernikahan dan hak menjatuhkan talak ada di tangan kaum pria.
Allah SWT berfirman:
“…oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (lakilaki) atas sebahagian yang lain (wanita).” (TQS an-Nisâ’ [4]: 3).

Kepemimpinan tersebut juga dikarenakan berbagai beban yang telah digantungkan oleh Allah di pundak kaum pria berupa taklif nafkah dalam bentuk mahar, makanan, pakaian dan tepat tinggal. Hal itu sebagaimana Allah berfirman:
“Dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka.” (TQS an-Nisâ’ [4]: 3)
Sebagaimana Allah SWT juga telah menetapkan adanya hak bagi seorang suami untuk mendidik istrinya dengan cara memberi nasihat yang baik, memisahkannya di tempat tidur, atau memukulnya dengan pukulan yang tidak menyakiti (melukai) menurut dosa (pelanggaran) yang memerlukan pendidikan itu. Hal itu dilakukan jika si istri melakukan nusyuz atau bermaksiat kepada (melanggar perintah) suaminya, dan melakukan penentangan terhadap suami.
Sebaliknya, Allah SWT telah menetapkan bahwa hak mengasuh anak yang masih kecil baik laki-laki atau perempuan ada ditangan wanita, sementara kaum pria dilarang dari hal itu. Allah SWT juga telah menetapkan bahwa wanita berhak untuk mengambil sendiri nafkah anak kecil (dari harta ayahnya) jika si ayah mereka menelantarkan mereka atau berlaku kikir terhadap mereka; sementaradalam kondisi semacam ini, pria dilarang untuk melakukannya.  Dalam konteks ini, Hindun pernah mendatangi Rasulullah SAW, lalu berkata:
“Ya Rasulullah, sungguh Abû Sufyân seorang pria yang sangat pelit. Ia tidak memberikan nafkah yang cukup bagi diriku dan anakku”. Maka Rasulullah SAW bersabda: “Ambil saja olehmu apa yang mencukupi untuk dirimu dan anakmu secara makruf”. (Muttafaq ‘alayh dari jalur ‘Aisyah)

Dalam kondisi semacam ini, seorang qâdhî (hakim) akan memaksa sang suami untuk menyerahkan nafkah kepada istrinya dan menetapkan bagi si isteri hak untuk mengelola langsung nafkah untuk diri dan anak-anaknya itu, dan sebaliknya Qadhi akan menolak pengelolaan nafkah tersebut oleh si suami.


B.    Aktifitas Wanita Bekerja Perspektif Fiqh Klasik dan Pemikiran Taqiyuddin An-Nabhani
1.    Perspektif Fiqh Klasik
Kaum muslimin sepakat bahwa perkawinan merupakan salah satu sebab yang mewajibkan pemberian nafkah, seperti halnya dengan kekerabatan. Nafkah atas istri ditetapkan nashnya dalam surat sebagai berikut :
“Dan kewajiban ayah adalah memberi makanan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang ma’ruf.”(Q.S. Al-Baqarah:233)

Yang dimaksud para ibu di sini adalah istri-istri, sedangkan yang dimaksud ayah adalah suami-suami. Para ulama madzhab telah sepakat bahwa pemberian nafkah terhadap istri hukumnya adalah wajib.  Seorang perempuan (istri) dilarang untuk keluar rumah tanpa adanya izin dari pihak laki-laki (suami).
Sejalan dengan hal tersebut, tanggung jawab kehidupan rumah tangga terletak pada pundak seorang suami. Tanggung jawab tersebut khususnya yang berkaitan dengan permasalahan pencarian nafkah, perlindungan keamanan, dan hubungan keluar. Di dalam literatur-literatur klasik, memandang bahwa itu mutlak menjadi tanggung jawab suami, sekalipun seandainya sang istri adalah orang yang kaya raya.
Hambali menyatakan bahwa, apabila seorang istri mengurung diri terhadap suaminya dengan maksud agar si suami memenuhi nafkah atau maharnya, maka bila sang suami tidak mampu memenuhi kewajiban-kewajiban materilnya, maka kewajiban memberikan nafkah menjadi gugur.  Oleh karenanya sang istri tidak berhak menuntut suami untuk memenuhi kebutuhannya dan dia dapat membantu sang suami untuk memenuhi kebutuhan rumah tangganya. Di dalam al-Qur’an disebutkan bahwa:
“Dan jika (orang yang berhutang itu) dalam kesulitan, maka berilah tangguh sampai dia berkelapangan”.(Q.S. Al-Baqarah:280)

Hanafi menegaskan bahwa, jika seorang istri adalah seorang wanita pekerja dan tidak menetap di rumah, maka dia tidak berhak atas nafkah manakala suaminya memintanya untuk menetap di rumah akan tetapi istrinya tidak menurutinya. Pendapat ini sejalan dengan pendapat yang ditegaskan oleh madzhab-madzhab lainnya yang menyatakan ketidakbolehan istri keluar rumah tanpa izin suaminya.
Bahkan Syafi’i dan Hambali lebih menegaskan bahwa, jika istri keluar rumah dengan izin suami tapi demi kepentingannya sendiri, maka gugurlah hak nafkah bagi sang istri tersebut. Serta jika seorang suami meminta kepada istrinya untuk meninggalkan pekerjaannya, dan sang istri tidak memenuhi permintaannya, maka sang istri juga tidak berhak atas nafkah suami. Di dalam Q.S al-Ahzab: 33 disebutkan
“Dan tetaplah kamu di rumah kamu”. (Q.S. Al-Ahzab:33)

Al-Qurthubi-pakar tafsir dalam bidang hukum- (w. 671 H) menulis, sebagaimana yang dikutip oleh Quraish Shihab, antara lain:
“Makna ayat di atas adalah perintah untuk menetap di rumah. Walaupun redaksi ayat ini ditujukan kepada istri-istri Nabi, akan tetapi selain dari mereka juga tercakup dalam perintah tersebut. Agama dipenuhi oleh tuntunan agar wanita-wanita tinggal di rumah dan tidak keluar rumah kecuali dalam keadaan darurat”.

Di dalam dunia politik, disebutkan bahwa, dunia peran pada dasarnya dibedakan ke dalam dua bagian.  Pertama, wilayah publik (al-wilâyah al-âmmah) dan yang kedua, wilayah domestik (al-wilâyah al-khâshshah). Wilayah publik meliputi urusan-urusan sosial kemasyarakatan, seperti penyusunan undang-undang, melakukan proses rekonsiliasi terhadap konflik-konflik yang terjadi pada masyarakat umum, menjalankan pemerintahan dan sebagainya. Wilayah ini menjadi kekuasaan kaum laki-laki. Sedangkan wilayah khusus meliputi tugas-tugas rumah tangga, mendidik anak, dan tugas-tugas yang bersifat internal, seperti wasiat kepada anak dan mengurus harta suami di rumah menjadi tugas kaum perempuan.
Berdasarkan pandangan tersebut, Islam telah menentukan peran perempuan dalam wilayah khusus (domestic role). Menurut mereka, secara historis sejak kelahirannya, Islam tidak pernah menyandarkan urusan publik ke pundak perempuan. Sejak masa kenabian, tak satu pun perempuan yang terlibat secara langsung ke dalam kegiatan-kegiatan politik.
Salah satu landasan argumentasi yang digunakan adalah berdasarkan ijma’. Dalam ijma’ telah disepakati bahwa pengalaman praktik Islam dalam masa Nabi SAW, masa khalîfah, serta generasi sesudahnya tidak pernah mengajak perempuan untuk terlibat dalam menyelesaikan urusan politik. Memang, pada masa Rasulullah banyak perempuan yang cemerlang dalam peradaban maupun pemikiran, seperti istri-istri Rasul, tetapi mereka tidak pernah bergabung dalam urusan politik. Mereka juga tidak pernah diajak untuk terjun ke dalamnya.
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa, dalam pandangan literatur klasik, seorang perempuan yang telah bersuami, dapat bekerja atau beraktivitas di luar rumah jika dengan izin sang suami ataupun sang suami memang tidak mampu untuk memenuhi kebutuhan nafkah sang istri. Akan tetapi pekerjaan yang digeluti oleh seorang perempuan tidak boleh merambah dunia politik.
2.    Pemikiran Taqiyuddin An-Nabhani
Watak pandangan Islam secara yuristik telah menetapkan aktivitas-aktivitas yang dilakukan oleh manusia dalam kedudukannya sebagai manusia, ada kalanya sebagai sesuatu yang mubah baik bagi kaum pria maupun kaum wanita, tanpa membedakan keduanya ataupun mendiskriminasi salah satunya dari yang lain. Atau menetapkan aktivitas-aktivitas itu sebagai sesuatu yang wajib, haram, makruh, atau mandûb (sunnah), tanpa ada pembedaan atau  diskriminasi.
Adapun berbagai aktivitas yang dilakukan oleh laki-laki dengan predikatnya sebagai laki-laki seiring dengan karakter kemanusiaannya, atau yang dilakukan oleh perempuan dengan predikatnya sebagai perempuan seiring dengan karakter kemanusiaannya, maka sungguh syara’ telah memisahkannya di antara keduanya dan membedakannya terkait dengan masing-masing dari keduanya, baik ditinjau dari sisi wajib, haram, makruh, mandûb (sunah), atau pun mubah. Dari sinilah, kita menemukan bahwa pemerintahan dan kekuasaan telah ditetapkan oleh syariah sebagai hak laki-laki dan bukan bagi perempuan. Sebaliknya, pengasuhan anak baik anak laki-laki atau anak perempuan, ditetapkan sebagai hak kaum wanita saja, dan bukan hak kaum pria. Karena itu, merupakan keniscayaan untuk menyerahkan berbagai aktivitas yang berkaitan dengan perempuan dengan predikatnya sebagai perempuan kepada kaum wanita. Juga merupakan keniscayaan, menyerahkan berbagai aktivitas yang berhubungan dengan laki-laki dengan sifatnya sebagai laki-laki kepada kaum pria. Allah SWT sebagai Zat yang telah menciptakan laki-laki dan perempuan adalah pihak yang paling mengetahui apakah sesuatu itu termasuk urusan laki-laki atau urusan perempuan. Karena itu, kita harus berhenti pada batas hukum-hukum yang telah disyariatkan-Nya dan tidak melampauinya, baik hukum-hukum itu bagi pria saja atau wanita saja, atau bagi manusia secara umum tanpa memperhatikan posisinya sebagai pria atau wanita. Sebab, Allah SWT adalah pihak yang paling mengetahui apa yang paling layak bagi manusia.
Dengan demikian, upaya-upaya akal untuk menghalangi wanita dari melakukan berbagai aktivitas dengan alasan aktivitas itu tidak termasuk urusan wanita, atau upaya akal untuk menyerahkan berbagai aktivitas kepada wanita yang semestinya khusus untuk pria, dengan anggapan bahwa penyerahan itu demi memberikan persamaan kepada wanita dan merealisasikan keadilan di antara pria dan wanita, semua upaya itu merupakan upaya yang telah melampaui batasan syara’, termasuk tindakan yang sama sekali salah dan menyebabkan kerusakan.
Syariah Islam telah menetapkan bahwa wanita adalah seorang ibu dan pengatur rumah tangga (ummun wa rabbah al-bayt). Untuk itu, syariah Islam telah mendatangkan bagi wanita seperangkat hukum yang berkaitan dengan kehamilan, kelahiran (wilâdah), penyusuan (radhâ‘ah), pengasuhan (hadhânah), ataupun berkaitan dengan masalah ‘iddah. Semua itu sedikitpun tidak ditetapkan bagi pria. Karena hukum-hukum tersebut memang hanya berhubungan dengan perempuan dalam kedudukannya sebagai perempuan. Maka, syara’ telah memberikan kepada wanita tanggung jawab terhadap anak mulai dari hamil, kelahiran, penyusuan, dan pengasuhan. Aktivitas-aktivitas tersebut merupakan aktivitas wanita yang paling penting dan tanggungjawab yang paling besar bagi seorang wanita.
Dari sini dapat dikatakan bahwa, aktivitas pokok bagi seorang wanita adalah sebagai ibu dan pengatur rumah tangga (ummun wa rabbah al-bayt). Sebab, di dalam aktivitas tersebut terdapat rahasia kelangsungan jenis manusia. Dan karena aktivitas-aktivitas tersebut telah dikhususkan bagi wanita, dan tidak diberikan sedikit pun kepada pria.
Atas dasar ini, harus sudah menjadi sesuatu yang jelas dan gamblang bahwa betapapun banyak aktivitas yang disandarkan kepada wanita dan betapapun berbagai taklif yang dibebankan kepada wanita, maka yang wajib menjadi aktivitas pokoknya adalah aktivitas keibuan (al-umûmah/motherhood) dan aktivitas pendidikan anak-anak. Karena itu, kita jumpai syariah Islam telah memperbolehkan wanita untuk berbuka pada siang hari bulan pada Ramadan sementara ia sedang mengandung atau menyusui. Syara’ juga telah menggugurkan kewajiban shalat dari wanita pada saat mereka sedang haidh atau nifas. Syara’ pun telah melarang pria untuk bepergian bersama anaknya selama ibunya masih mengasuh anak itu. Semua itu dalam rangka untuk menyempurnakan aktivitas pokoknya selaku wanita, yaitu sebagai ibu dan pengatur rumah tangga (ummun wa rabbah al-bayt).
Hanya saja, keberadaan aktivitas pokok wanita sebagai ibu dan pengatur rumah tangga itu tidak berarti bahwa aktivitas wanita hanya dibatasi pada aktivitas tersebut dan dilarang melakukan aktivitas-aktivitas lainnya. Melainkan maknanya adalah bahwa Allah SWT telah menciptakan wanita agar pria cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan agar pria (suaminya) bisa memperoleh keturunan dan anak darinya. Allah SWT berfirman:
“Allah menjadikan bagi kamu isteri-isteri dari jenis kamu sendiri dan menjadikan bagimu dari isteri-isteri kamu itu, anak anak dan cucu-cucu.” (TQS an-Nahl [16]: 72)

“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya” (TQS ar-Rûm [30]: 21)

Akan tetapi, dalam waktu yang sama, Allah SWT juga telah menciptakan wanita agar ia melakukan aktivitas di kehidupan umum, sebagaimana ia melakukan aktivitas di kehidupan khusus. Maka Allah SWT telah mewajibkan atas wanita untuk mengemban dakwah dan menuntut ilmu tentang apa yang menjadi keharusan dari aktivitasaktivitas kehidupannya. Allah SWT juga telah memperbolehkan seorang wanita untuk melakukan transaksi jual-beli, kontrak kerja (ijârah), dan perwakilan (wakâlah). Di sisi lain, Allah SWT telah mengharamkan wanita untuk berdusta, bertindak curang, dan berkhianat. Sebagaimana semua itu telah diwajibkan, diperbolehkan, atau diharamkan kepada pria.
Allah SWT juga telah menetapkan bahwa wanita boleh menekuni aktivitas pertanian, industri, perdagangan. Ia juga boleh melakukan berbagai transaksi (akad), memiliki setiap jenis kepemilikan yang dibolehkan, dan mengembangkan hartanya. Wanita pun boleh untuk melakukan sendiri berbagai urusannya di tengah kehidupan. Ia boleh menjadi pesero dalam suatu syirkah (perseroan), menjadi pegawai, mempekerjakan orang, menyewakan sesuatu atau melakukan semua bentuk muamalat lainnya. Semua itu berdasarkan keumuman seruan Allah SWT dan tidak adanya larangan khusus yang ditujukan bagi wanita.
Hanya saja, wanita tidak boleh menduduki jabatan pemerintahan. Maka ia tidak boleh menjadi kepala negara (Khalifah), mu‘âwin (pembantu) Khalifah, Wali (gubernur), ‘âmil (setara walikota/bupati), atau jabatan apa saja yang termasuk pemerintahan (kekuasaan). Hal itu didasarkan kepada apa yang telah diriwayatkan dari Abû Bakrah, ia menuturkan:
 “ketika sampai berita kepada Rasulullah SAW bahwa penduduk Persia telah mengangkat putri Kisra sebagai ratu mereka, beliau lalu bersabda: “Tidak akan pernah beruntung suatu kaum yang menyerahkan urusan mereka kepada seorang wanita.” (HR al-Bukhârî)

Hadits ini secara gamblang melarang wanita untuk memegang urusan pemerintahan yaitu ketika mencela orang-orang yang menyerahkan urusan mereka kepada wanita. Waliyul-Amri (pemegang urusan pemerintahan) tidak lain adalah penguasa (pemerintah).
Allah SWT berfirman:
“Hai orang-orang yang beriman, ta`atilah Allah dan ta`atilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu.” (TQS an-Nisâ’ [4]: 59)

Jadi, kekuasaan pemerintahan tidak boleh diserahkan kepada kaum wanita. Selain urusan (kekuasaan) pemerintahan, wanita boleh memegang (menjabat)-nya. Atas dasar ini, wanita boleh diangkat sebagai pegawai negara, karena pekerjaan semacam itu tidak termasuk urusan pemerintahan, melainkan termasuk kontrak kerja (ijârah). Pegawai pada hakikatnya adalah pekerja khusus yang bekerja kepada pemerintah. Statusnya sama seperti pekerja yang bekerja kepada seseorang atau suatu perusahaan. Wanita juga boleh menangani urusan peradilan (menjabat sebagai qâdhî atau hakim), karena seorang qâdhî bukanlah pemerintah (penguasa). Ia hanyalah orang yang memutuskan persengketaan di antara anggota masyarakat dan memberitahukan hukum syara’ yang bersifat mengikat kepada pihak-pihak yang bersengketa. 
Dilihat dari aktivitas Sistem Pergaulan Islam (an-Nizhâm al-Ijtimâ’iy fî al-Islâm) seorang Muslim, baik pria maupun wanita, wajib terikat dengan hukum-hukum syara’ secara keseluruhan, supaya tidak terjadi kontradiksi dalam diri seseorang sehingga pada akhirnya menampakkan adanya pertentangan di antara hukum-hukum. 
Akidah Islam mengharuskan setiap Muslim untuk menerapkan seluruh hukum Islam terhadap dirinya. Islam juga telah mensyariatkan hukum-hukum yang meliputi pelaksanaan perbuatan secara positif (berupa perintah) atau pun negatif (berupa larangan). Hukum-hukum tersebut dapat memelihara setiap Muslim, baik pria ataupun wanita, sehingga mereka tidak keluar dari nilai-nilai yang mulia.
Hukum-hukum tersebut juga bisa menjadi perisai bagi mereka, sehingga mereka tidak tergelincir ke dalam pandangan yang bersifat seksual semata tatkala mereka berada dalam suatu komunitas (jamaah) di tengah masyarakat. Hukum-hukum tersebut banyak jumlahnya. Di antara hukum yang terkait dengan pelaksanaan berbagai aktivitas secara positif (berupa perintah), adalah:
a.    Islam telah memerintahkan baik kepada laki-laki maupun wanita agar menundukkan pandangannya serta memelihara kemaluannya. Allah SWT berfirman:
“Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat”. Katakanlah kepada wanita yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya.” (TQS an-Nûr [24]: 30-31)
Menahan (menundukkan) pandangan yang dilakukan oleh setiap pria maupun wanita merupakan perlindungan yang hakiki bagi mereka masing-masing. Perlindungan subyektif (internal) itu akan menghalanginya sehingga tidak terjatuh ke dalam perkaraperkara yang diharamkan. Sebab, mata merupakan sarana vital ke arah perbuatan-perbuatan yang terlarang itu. Saat pandangan ditundukkan, saat itu juga kemungkaran telah dicegah.
b.    Islam telah memerintahkan kepada kaum pria dan wanita agar bertakwa kepada Allah SWT. Allah SWT berfirman:
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan katakanlah perkataan yang benar.” (TQS al-Ahzâb [33]: 70)

“Dan bertakwalah kamu (hai isteri-isteri Nabi) kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Menyaksikan segala sesuatu.” (TQS al-Ahzâb [33]: 55)

c.    Islam telah memerintahkan kepada kaum pria dan kaum wanita agar menjauhi tempat-tempat syubhat (meragukan) dan agar bersikap hati-hati  sehingga tidak tergelincir ke dalam perbuatan maksiat kepada Allah.
Islam juga memerintahkan kepada pria maupun wanita untuk menjauhi tempat manapun, dan untuk tidak melakukan aktivitas apapun serta untuk tidak berada di dalam kondisi apa pun yang di dalamnya terdapat perkara syubhat, supaya mereka tidak terjerembab ke dalam perbuatan yang haram. Rasulullah SAW bersabda:
“Sesungguhnya perkara yang halal telah jelas dan perkara yang haram pun telah jelas. Akan tetapi, di antara keduanya terdapat perkara yang syubhat di mana banyak orang tidak mengetahuinya. Barangsiapa yang menjauhi perkara-perkara yang syubhat, sesungguhnya ia telah menjaga agama dan dirinya. Sebaliknya, barangsiapa yang terjatuh ke dalam perkara syubhat, berarti ia telah terjatuh ke dalam yang haram. Demikianlah, sebagaimana seorang penggembala yang menggembalakan gembalaannya di seputar hima, hampir-hampir ia terjatuh ke dalamnya. Ketahuilah, setiap raja memiliki hima, dan hima Allah adalah apa yang diharamkan- Nya.” (HR Muslim dari jalur an-Nu’mân bin Bisyir).

Perkara syubhat di sini bisa terjadi dalam tiga keadaan. Pertama, syubhat (kesamaran) yang ada pada sesuatu, apakah hukumnya haram ataukah mubah; atau syubhat (kesamaran) tentang suatu perbuatan, apakah hukumnya wajib, haram, makruh, mandûb, ataukah mubah. Adanya syubhat (kesamaran) tentang deskripsi sesuatu atau tentang hukum suatu perbuatan, maka seseorang tidak boleh mengambil atau melakukan perbuatan itu sampai jelas hukum syara’ tentangnya. Dengan begitu, seorang Muslim akan mengambil atau melaksanakannya dengan perasaan tenang berdasarkan dugaan kuatnya bahwa hukum itulah yang merupakan hukum Allah tentang sesuatu atau perbuatan tersebut. Baik kejelasan hukum itu dia peroleh setelah dia melakukan ijtihad, atau setelah ia mendapat pengetahuan tentang hukum syara’ tersebut dari seorang mujtahid atau seseorang yang mengetahui hukum, walaupun orang itu seorang muqallid atau pun ‘âmmî, selama ia yakin akan ketakwaan dan pengetahuan orang itu atas hukum tersebut, bukan keilmuan orang itu secara mutlak. Kedua, seseorang ragu-ragu terjatuh ke dalam yang haram, dari perbuatannya yang mubah karena begitu dekatnya perbuatan tersebut dengan yang haram atau karena diduga bisa mengantarkan kepada yang haram. Misalnya, seseorang yang menyimpan hartanya di bank yang melakukan aktivitas riba; seseorang yang menjual anggur kepada pedagang yang memiliki pabrik khamr; atau seseorang yang mengajar wanita secara rutin, baik mingguan atau harian, dan perbuatan lain yang sejenis. Perbuatan-perbuatan semisal itu merupakan perbuatan yang mubah dan seseorang itu boleh melakukannya. Akan tetapi yang lebih utama tidak melakukannya dalam rangka memelihara diri atas dorongan sifat wara‘. Ketiga, masyarakat merancukan perbuatan mubah yang dirancukan sebagai perbuatan haram. Akhirnya seseorang menjauhi perbuatan mubah tersebut karena khawatir masyarakat menganggapnya telah melakukan perbuatan haram. Misalnya, orang yang lewat di suatu tempat yang di dalamnya penuh dengan kerusakan sehingga orang banyak menyangkanya sebagai seorang yang rusak (bejat). Kekhawatiran bahwa nanti masyarakat akan menilainya demikian menyebabkan dia menjauhi sesuatu yang mubah itu. Contoh lain adalah seorang laki-laki bersikeras menyuruh istrinya atau mahram-nya yang lain agar mengenakan cadar, padahal ia berpendapat bahwa wajah bukanlah aurat. Akan tetapi laki-laki itu tetap bersikeras akan hal itu karena khawatir masyarakat akan mengatakan bahwa isteri atau saudari si Fulan membuka aurat. Dalam konteks jenis ketiga ini terdapat dua aspek: Pertama, sesuatu yang dirancukan oleh masyarakat sebagai sesuatu yang haram atau makruh, nyatanya secara syar’i memang haram atau makruh. Dan seseorang melakukan suatu perbuatan yang mubah, lalu dari hal itu orang-orang memahami bahwa seseorang itu telah melakukan perbuatan yang terlarang. Maka dalam keadaan seperti ini, seseorang itu hendaknya menjauhi perbuatan mubah tersebut karena khawatir orang-orang menyangkanya melakukan perbuatan haram, atau hendaknya ia menjelaskan perbuatannya itu kepada mereka.
d.    kesopanan dan mengenakan pakaian yang sempurna di dalam kehidupan umum.
Islam juga telah menetapkan kehidupan khusus hanya terbatas bagi wanita dan para mahram-nya saja. Tidak diragukan lagi bahwa munculnya wanita yang sopan lagi serius akan menghalanginya dari pandangan nakal dari mereka yang tidak bertakwa kepada Allah SWT. Al-Quran telah mendeskripsikan pakaian wanita dengan deskripsi yang detil, sempurna, dan menyeluruh. Apabila seorang wanita telah mengenakan pakaiannya secara sempurna; menutupkan kain kerudung atas kerah bajunya sehingga terulur menutupi kepala, leher dan dadanya; serta mengulurkan jilbabnya sehingga baju kurung atau jubahnya terulur sampai ke bawah supaya menutupi seluruh tubuh hingga kedua telapak kakinya, maka artinya wanita tersebut telah mengenakan pakaian yang sempurna, berhati-hati dalam memakainya dan tampak kehormatan (kesopanan)-nya. Dengan pakaian yang sempurna tersebut, ia dapat terjun ke tengah-tengah kehidupan umum untuk melangsungkan berbagai aktivitasnya. Pada saat yang sama, ia berada dalam kondisi yang sangat terhormat dan bermartabat. Semua itu akan dapat menghalangi dirinya dari pandangan nakal orang-orang yang tidak bertakwa kepada Allah SWT.
Inilah hukum-hukum syara’ yang mencakup pelaksanaan berbagai aktivitas yang diperintahkan. Sedangkan hukum-hukum syara’ yang meliputi berbagai perbuatan yang dilarang di antaranya adalah sebagai berikut:
a.    Islam melarang pria dan wanita untuk berkhalwat satu sama lain.
Khalwat maknanya adalah seorang pria bertemu dan berkumpul dengan seorang wanita di suatu tempat yang tidak memungkinkan orang lain untuk bergabung dengan keduanya, kecuali dengan izin keduanya. Misalnya, seorang pria dan wanita berkumpul di rumah atau di tempat sunyi yang jauh dari jalan dan jauh dari orangorang.
Dikatakan di dalam kamus al-Muhîth: Dia meminta berduaan dengan raja, maka raja pun menyendiri dengannya; khalâ bihi, khalâ ilayhi dan khalâ ma’ahu (mashdarnya) khalwan, khalâ’an dan khalwat, maknanya adalah memintanya untuk bertemu berduaan saja, lalu ia pun melakukannya. Dengan demikian, khalwat adalah bertemunya dua orang secara menyendiri sehingga aman dari keberadaan orang lain bersama keduanya. Khalwat adalah perbuatan yang rusak. Karena itu, Islam melarang dengan tegas setiap bentuk khalwat yang dilakukan oleh seorang pria dan seorang wanita yang bukan mahram, siapa pun kedua orang tersebut dan bagaimanapun bentuk khalwat yang dilakukan. Rasulullah SAW telah bersabda:
“Janganlah seorang pria berduaan dengan seorang wanita kecuali wanita itu disertai mahramnya, (karena) sesungguhnya yang ketiga adalah setan.” (HR Muslim dari jalur Ibn ’Abbâs)

Dengan melarang khalwat, syariah telah memberikan pemeliharaan (penghalang) di antara pria dan wanita. Fakta khalwat menunjukkan, bahwa khalwat itu telah menjadikan pria hanya mengenal wanita sebagai seorang perempuan saja, sekaligus menjadikan wanita hanya mengenal pria sebagai seorang laki-laki saja. Dengan adanya larangan khalwat maka sebab-sebab kerusakan dapat dipupuskan, karena khalwat merupakan sarana yang secara langsung dapat mengantarkan kepada kerusakan.
b.    Islam melarang kaum wanita untuk bertabarruj. Allah SWT berfirman:
“Dan perempuan-perempuan tua yang telah terhenti (dari haid dan mengandung) yang tiada ingin kawin (lagi), tiadalah atas mereka dosa menanggalkan pakaian mereka dengan tidak (bermaksud) menampakkan perhiasan.” (TQS an-Nûr [24]: 60)

Ayat ini melarang wanita yang sudah tua untuk melakukan tabarruj. Yaitu pada saat ayat ini mempersyaratkan terhadap wanita tua itu dalam menanggalkan atau melepaskan pakaian yang boleh untuk ditanggalkan, hendaklah ia tidak bertabarruj. Mafhumnya, ayat ini merupakan larangan bertabarruj. Jika kaum wanita yang sudah tua dilarang melakukan tabarruj, maka wanita selain mereka (yaitu wanita yang lebih muda dari mereka) tentu lebih dilarang lagi.
Allah SWT berfirman:
“Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan.” (TQS an-Nûr [24]: 31)

Semisal perbuatan yang disebutkan di dalam ayat ini dinilai sebagai tabarruj. Tabarruj maknanya adalah: Menampakkan perhiasan dan kecantikan kepada laki-laki asing (bukan mahram). Dikatakan tabarrajat al-mar’ah (seorang wanita bertabarruj) artinya azhharat zînatahâ wa mahâsinahâ li al-ajânib (wanita itu telah menampakkan perhiasan dan kecantikannya kepada pria asing-bukan mahram-nya). Terdapat sejumlah hadits tentang larangan atas setiap perbuatan yang dinilai sebagai tabarruj. Abû Musâ al- Asy‘ari menuturkan bahwa Rasulullah SAW pernah bersabda:
“Wanita siapa saja yang memakai wewangian kemudian melewati suatu kaum agar mereka mencium aromanya, maka ia (seperti) wanita yang berzina (pelacur).” (HR Ibn Hibbân dan al-Hâkim).

c.    Islam melarang pria dan wanita untuk melakukan segala bentuk perbuatan yang mengandung bahaya terhadap akhlak atau yang dapat merusak masyarakat.
Karenanya seorang wanita dilarang untuk bekerja dengan pekerjaan yang dimaksudkan untuk memanfaatkan aspek keperempuanan (feminitas).
Diriwayatkan dari Râfi‘ ibn Rifâ‘ah, ia menuturkan: “Nabi SAW telah melarang kami dari pekerjaan seorang pelayan wanita kecuali yang dikerjakan dengan kedua tangannya. Beliau bersabda, “begini (dia kerjakan) dengan jari-jemarinya seperti membuat roti, memintal, atau menenun.” (HR Ahmad)

Dengan demikian, seorang wanita dilarang untuk bekerja di tempat-tempat penjualan untuk menarik pengunjung. Wanita dilarang bekerja di kantor-kantor diplomatik dan konsulat atau yang sejenisnya, dengan maksud untuk memanfaatkan unsure kewanitaannya dalam rangka mencapai tujuan-tujuan politik. Wanita juga dilarang bekerja sebagai pramugari di pesawat-pesawat terbang dan pekerjaan-pekerjaan lainnya yang mengeksploitasi unsur kewanitaannya.
d.    Islam melarang menuduh wanita yang baik-baik yaitu melontarkan tuduhan zina kepadanya. Allah SWT berfirman:
“Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat selama-lamanya. Dan mereka itulah orang-orang yang fasik.” (TQS an-Nûr [24]: 4)

“Sesungguhnya orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik, yang lengah lagi beriman (berbuat zina), mereka kena laknat di dunia dan akhirat, dan bagi mereka azab yang besar” (TQS an-Nûr [24]: 23)

 Rasulullah SAW pernah bersabda:
“Jauhilah oleh kalian tujuh dosa besar.” Para sahabat bertanya: “Apa saja itu wahai Rasulullah?” Beliau menjawab: “Menyekutukan Allah, sihir, membunuh jiwa yang diharamkan oleh Allah kecuali dengan alasan yang dibenarkan, memakan riba, memakan harta anak yatim, lari dari medan perang, dan menuduh berzina atas wanita yang suci, yang tidak melakukan apa-apa.” (Muttafaq ’alayhi dari jalur Abû Hurayrah).
LihatTutupKomentar