Pandangan Para Ulama/Cendekiawan Muslim Tentang Demokrasi

Secara kebahasaan, demokrasi terdiri atas dua rangkaian kata, yaitu “demos” yang berarti rakyat dan “cratos” yang berarti kekuasaan. Secara istilah, kata demokrasi ini dapat ditinjau dari dua segi makna. Pertama, demokrasi dipahami sebagai suatu konsep yang berkembang dalam kehidupan politik pemerintah, yang di dalamnya terdapat penolakan terhadap adanya kekuasaan yang terkonsentrasi pada satu orang dan menghendaki peletakan kekuasaan di tangan orang banyak (rakyat) baik secara langsung maupun dalam perwakilan.

Kedua, demokrasi dimaknai sebagai suatu konsep yang menghargai hak-hak dan kemampuan individu dalam kehidupan bermasyarakat. Dari definisi ini, dapat dipahami bahwa istilah demokrasi awalnya berkembang dalam dimensi politik yang tidak dapat dihindari. Secara historis, istilah demokrasi memang berasal dari Barat. Namun, jika melihat dari sisi makna, kandungan nilai-nilai yang ingin diperjuangkan oleh demokrasi itu sendiri sebenarnya merupakan gejala dan cita-cita kemanusiaan secara universal (umum, tanpa batas agama maupun etnis).

Demokrasi terbentuk menjadi suatu sistem pemerintahan, sebagai respon kepada masyarakat umum yang ingin menyuarakan pendapat mereka. Dengan adanya sistem demokrasi, kekuasaan absolut satu pihak melalui tirani, kediktatoran, dan pemerintahan otoriter lainnya dapat dihindari. Demokrasi memberikan kebebasan berpendapat bagi rakyat. Namun demikian, dalam pandangan para ulama/cendekiawan muslim tentang demokrasi terbagi menjadi dua pandangan utama, yaitu; pertama menolak sepenuhnya, dan kedua menerima dengan syarat tertentu. Berikut pandangan para ulama yang mewakili kedua pendapat tersebut.

1. Abul A’la Al-Maududi
Sayyid Abu A’la Al-Maududi adalah figur penting dalam kebangkitan Islam pada abad ke-20. Dikenal sebagai salah satu tokoh muslim besar di bidang jurnalisme, akidah dan filosofi politik islami. Lahir pada 25 September 1903 di kota Aurangabad di wilayah Haidar Abad (India). Ia berasal dari keluarga syarif (keturunan Nabi), sangat terhormat dan cukup terpandang karena pernah mengabdi kepada Dinasti Mughal, yaitu pada era Muhammad Bahadur Syah Zafar. (Bahadur Syah adalah raja pengganti Aurangzeb pada tahun 1707. Bahadur hanya berkuasa selama lima tahun saja, dan pada era inilah awal mula era kemunduran kerajaan Mughal sebelum datangnya Inggris). Nenek moyang Al-Maududi sebenarnya dulu menetap di semenanjung Arab. Seribu tahun yang lalu, sebagian keluarganya hijrah ke kota Herat. Pada akhirnya, pada abad 19 Hijriah kakek Al-Maududi hijrah ke India.
 demokrasi terdiri atas dua rangkaian kata Pandangan Para Ulama/Cendekiawan Muslim Tentang Demokrasi
Al-Maududi secara tegas menolak demokrasi. Menurutnya, Islam tidak mengenal paham demokrasi yang memberikan kekuasaan besar kepada rakyat untuk menetapkan segala hal. Demokrasi adalah buatan manusia sekaligus produk dari pertentangan Barat terhadap agama, sehingga cenderung sekuler. Karenanya, al-Maududi menganggap demokrasi modern (Barat) merupakan sesuatu yang bersifat syirik. Menurutnya, Islam menganut paham teokrasi (berdasarkan hukum Tuhan).

2. Mohammad Iqbal
Menurut Iqbal, sejalan dengan kemenangan sekularisme atas agama, demokrasi modern menjadi kehilangan sisi spiritualnya, sehingga jauh dari etika. Demokrasi yang merupakan kekuasaan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat telah mengabaikan keberadaan agama. Parlemen sebagai salah satu pilar demokrasi dapat saja menetapkan hukum yang bertentangan dengan nilai agama kalau anggotanya menghendaki. Karenanya, menurut Iqbal Islam tidak dapat menerima model demokrasi Barat yang telah kehilangan basis moral dan spiritual. Atas dasar itu, Iqbal menawarkan sebuah konsep demokrasi spiritual yang dilandasi oleh etik dan moral ketuhanan. Jadi, yang ditolak oleh Iqbal bukan demokrasi an sich, seperti yang dipraktekkan di Barat.

Kemudian, Iqbal menawarkan sebuah model demokrasi sebagai berikut:
  • Tauhid sebagai landasan asasi.
  • Kepatuhan pada hukum.
  • Toleransi sesama warga.
  • Tidak dibatasi wilayah, ras, dan warna kulit.
  • Penafsiran hukum Tuhan melalui ijtihad.
3. Muhammad Imarah
Beliau dilahirkan di perkampungan Sarwah, daerah Qalin, Negeri Kafar Syeikh, Mesir pada 27 Rejab 1350H bersamaan 8 Disember 1931 dalam keluarga yang sederhana. Keluarganya bekerja sebagai petani dan kuat beragama. Menurut Muhammad ‘Imarah, bapanya seorang yang buta huruf tetapi seorang yang kuat berpegang kepada ajaran agama.
 demokrasi terdiri atas dua rangkaian kata Pandangan Para Ulama/Cendekiawan Muslim Tentang Demokrasi
Menurut Imarah, Islam tidak menerima demokrasi secara mutlak dan juga tidak menolaknya secara mutlak. Dalam demokrasi, kekuasaan legislatif (membuat dan menetapkan hukum) secara mutlak berada di tangan rakyat. Sementara, dalam sistem syura (Islam) kekuasaan tersebut merupakan wewenang Allah Swt.. Dialah pemegang kekuasaan hukum tertinggi. Wewenang manusia hanyalah menjabarkan dan merumuskan hukum sesuai dengan prinsip yang digariskan Tuhan serta berijtihad untuk sesuatu yang tidak diatur oleh ketentuan Allah Swt.. Jadi, Allah Swt. berposisi sebagai al-Syari’ (legislator) sementara manusia berposisi sebagai faqih (yang memahami dan menjabarkan hukum-Nya).

Demokrasi Barat berpulang pada pandangan mereka tentang batas kewenangan Tuhan. Menurut Aristoteles, setelah Tuhan menciptakan alam, Dia membiarkannya. Dalam filsafat Barat, manusia memiliki kewenangan legislatif dan eksekutif. Sementara, dalam pandangan Islam, Allah Swt. pemegang otoritas tersebut. Allah Swt. berfirman: “Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah Swt. Maha Suci Allah Swt., Tuhan semesta alam”. (Q.S.al-A’raf/7:54). Inilah batas yang membedakan antara sistem syariah Islam dan demokrasi Barat. Adapun hal lainnya seperti membangun hukum atas persetujuan umat, pandangan mayoritas, serta orientasi pandangan umum, dan sebagainya adalah sejalan dengan Islam.

4. Yusuf al-Qardhawi
Dr. Yusuf Al-Qaradhawi adalah ulama yang sangat masyhur di dunia karena kedalaman ilmu dan da’wahnya. Ia menjadi rujukan banyak kalangan karena kemampuannya dalam menjawab segala masalah umat sesuai dengan tuntunan Alquran dan hadits. Nama lengkapnya adalah Yusuf bin Abdullah bin Ali bin Yusuf. Sedangkan al-Qaradhawi merupakan nama keluarga yang diambil dari nama daerah tempat mereka berasal, yakni al-Qardhah. Ketika usianya belum genap 10 tahun, ia telah mampu menghafal Al-Qur’an al-Karim. Seusai menamatkan pendidikan di Ma’had Thantha dan Ma’had Tsanawi, ia meneruskan pendidikan ke Fakultas Ushuluddin Universitas al-Azhar, Kairo. Pemikiran beliau banyak dipengaruhi oleh cendekiawan muslim Hasan Al Banna.

Menurut Al-Qardhawi, substasi demokrasi sejalan dengan Islam. Hal ini bisa dilihat dari beberapa hal, misalnya sebagaimana berikut.
  1. Dalam demokrasi, proses pemilihan melibatkan banyak orang untuk mengangkat seorang kandidat yang berhak memimpin dan mengurus keadaan mereka. Tentu saja, mereka tidak boleh akan memilih sesuatu yang tidak mereka sukai. Demikian juga dengan Islam. Islam menolak seseorang menjadi imam salat yang tidak disukai oleh ma’mum di belakangnya.
  2. Usaha setiap rakyat untuk meluruskan penguasa yang tirani juga sejalan dengan Islam. Bahkan amar ma’ruf dan nahi mungkar serta memberikan nasihat kepada pemimpin adalah bagian dari ajaran Islam.
  3. Pemilihan umum termasuk jenis pemberian saksi. Oleh karena itu, barangsiapa yang tidak menggunakan hak pilihnya sehingga kandidat yang mestinya layak dipilih menjadi kalah dan suara mayoritas jatuh kepada kandidat yang sebenarnya tidak layak, berarti ia telah menyalahi perintah Allah Swt. untuk memberikan kesaksian pada saat dibutuhkan.
  4. Penetapan hukum yang berdasarkan suara mayoritas juga tidak bertentangan dengan prinsip Islam. Contohnya dalam sikap Umar yang tergabung dalam syura. Mereka ditunjuk Umar sebagai kandidat khalifah dan sekaligus memilih salah seorang di antara mereka untuk menjadi khalifah berdasarkan suara terbanyak. Sementara lainnya yang tidak terpilih harus tunduk dan patuh. Jika suara yang keluar tiga lawan tiga, maka mereka harus memilih seseorang yang diunggulkan dari luar mereka, yaitu Abdullah ibnu Umar. Contoh lain adalah penggunaan pendapat jumhur ulama dalam masalah khilafiyah. Tentu saja, suara mayoritas yang diambil ini adalah selama tidak bertentangan dengan nash syariat secara tegas.
  5. Kebebasan pers dan kebebasan mengeluarkan pendapat, serta otoritas pengadilan merupakan sejumlah hal dalam demokrasi yang sejalan dengan Islam.
5. Salim Ali al-Bahasnawi
Menurut Salim Ali al-Bahasnawi, demokrasi mengandung sisi yang baik yang tidak bertentangan dengan Islam dan memuat sisi negatif yang bertentangan dengan Islam. Sisi baik demokrasi adalah adanya kedaulatan rakyat selama tidak bertentangan dengan Islam. Sementara, sisi buruknya adalah penggunaan hak legislatif secara bebas yang dapat mengarah pada sikap menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal. Karena itu, ia menawarkan adanya Islamisasi demokrasi sebagai berikut:
  1. Menetapkan tanggung jawab setiap individu di hadapan Allah Swt..
  2. Wakil rakyat harus berakhlak Islam dalam musyawarah dan tugas-tugas lainnya.
  3. Mayoritas bukan ukuran mutlak dalam kasus yang hukumnya tidak ditemukan dalam al-qur±n dan Sunnah (Q.S. an-Nisa/4:59) dan (Q.S. al-Ahzab/33:36).
  4. Komitmen terhadap Islam terkait dengan persyaratan jabatan, sehingga hanya yang bermoral yang duduk di parlemen.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa konsep demokrasi tidak sepenuhnya bertentangan dan tidak sepenuhnya sejalan dengan Islam. Prinsip dan konsep demokrasi yang sejalan dengan islam adalah keikutsertaan rakyat dalam mengontrol, mengangkat, dan menurunkan pemerintah, serta dalam menentukan sejumlah kebijakan lewat wakilnya.

Adapun yang tidak sejalan adalah ketika suara rakyat diberikan kebebasan secara mutlak sehingga bisa mengarah kepada sikap, tindakan, dan kebijakan yang keluar dari rambu-rambu ilahi. Karena itu, maka perlu dirumuskan sebuah sistem demokrasi yang sesuai dengan ajaran Islam. Yaitu di antaranya:
  1. Demokrasi tersebut harus berada di bawah payung agama.
  2. Rakyat diberi kebebasan untuk menyuarakan aspirasinya
  3. Pengambilan keputusan senantiasa dilakukan dengan musyawarah.
  4. Suara mayoritas tidaklah bersifat mutlak meskipun tetap menjadi pertimbangan utama dalam musyawarah. Contohnya kasus Abu Bakr ketika mengambil suara minoritas yang menghendaki untuk memerangi kaum yang tidak mau membayar zakat. Juga ketika Umar tidak mau membagi-bagikan tanah hasil rampasan perang dengan mengambil pendapat minoritas agar tanah itu dibiarkan kepada pemiliknya dengan cukup mengambil pajaknya.
  5. Musyawarah atau voting hanya berlaku pada persoalan ijtihadi; bukan pada persoalan yang sudah ditetapkan secara jelas oleh Alquran dan Sunah.
  6. Produk hukum dan kebijakan yang diambil tidak boleh keluar dari nilai-nilai agama.
  7. Hukum dan kebijakan tersebut harus dipatuhi oleh semua warga
Akhirnya, agar sistem atau konsep demokrasi yang islami di atas terwujud, langkah yang harus dilakukan:
  • Seluruh warga atau sebagian besarnya harus diberi pemahaman yang benar tentang Islam sehingga aspirasi yang mereka sampaikan tidak keluar dari ajarannya.
  • Parlemen atau lembaga perwakilan rakyat harus diisi dan didominasi oleh orang-orang Islam yang memahami dan mengamalkan Islam secara baik.
Wallahu a’lam bi al-shawab
Pemimpin Paling Demokratis di Mata Dunia

Sebagai seorang pemimpin, Nabi Muhammad saw. telah membuat banyak sarjana dan tokoh Barat sangat kagum dan terpengaruh, meskipun mereka tidak suka. Mereka di antaranya adalah sebagai berikut.
  1. Comte de Boulainvilliers: ”Muhammad saw. adalah pemikir bebas (freethinker) dan pencipta agama rasional”.
  2. Voltaire: ”Muhammad saw. adalah pemimpin yang memimpin rakyatnya melakukan penaklukan agung”.
  3. Radinson: “Muhammad saw. adalah pengajar agama alami, wajar, dan masuk akal”.
  4. Thomas Carlyle: “Muhammad saw. adalah pahlawan kemanusiaan yang menyinarkan cahaya Ilahi”.
  5. Hubert Grimme: “Muhammad saw adalah sosialis yang sukses melakukan reformasi fisikal dan sosial”.
  6. Goethe (sastrawan besar Jerman): “bagaikan sungai besar mengantarkan airnya mencapai lautan”.
  7. George Bernard Shaw (pengarang Inggris terkenal): ”Muhammad saw. telah mengangkat wanita menjadi makhluk yang mulia.
  8. Edward Gibbon: “Hal yang baik dari Muhammad saw. ialah membuang jauh kecongkakan seorang raja”.
LihatTutupKomentar